Dewasa ini, kita memahami bahwa teknologi telah berkembang semakin pesat dan menjadi aktor penting dalam memudahkan aktivitas manusia. Manusia menjadi jauh lebih mudah untuk bisa terkoneksi dengan manusia lainnya. Tanpa ada batasan, manusia bisa berkomunikasi dengan siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Teknologi benar-benar mengantarkan manusia kepada kemudahan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, membuat teknologi menjadi andalan bagi semua orang untuk bisa digunakan manfaatnya. Contohnya sosial media, sosial media menjadi salah satu platform yang masih sangat relevan untuk digunakan oleh masyarakat dalam melakukan aktivitas sosial dalam basis daring. Dari mulai bertukar pesan, memposting gambar sampai sarana untuk berbagi ekspresi dan perasaan. Platform sosial media yang kita gunakan sekarang membebaskan kita untuk menjadi siapapun dan bisa berkomunikasi pada siapa saja.
Dibalik semua kemudahan yang diberikan oleh teknologi terdapat sisi gelap yang mau tidak mau harus kita akui eksistensinya. Keterbukaan informasi dan akses yang ada di internet membuat manusia berupaya menjadi sosok terbaik dalam dirinya yang berujung pada pemalsuan identitas yang bahkan bertolak belakang dengan identitas dirinya di kehidupan nyata. Seperti pada permainan Roleplayer (RP) dimana seseorang beraktivitas di sosial media dengan menggunakan identitas karakter yang tidak berkaitan dengan dirinya dan berpura-pura hidup sebagai karakter yang diperankan. Dalam fenomena RP sering kali kita temui orang-orang yang berpura-pura menggunakan profile picture sebagai artis korea, karakter kartun atau karakter lainnya dan membagikan informasi di sosial media seolah-olah mereka karakter yang diperankan tersebut.
Beberapa bulan lalu, sempat viral video seorang anak yang ketahuan oleh ayahnya bermain RP yang berujung pada kemarahan sang ayah. Sang ayah marah karena sang anak bermain RP dengan memerankan seseorang yang jauh lebih tua dari usia aslinya di dunia nyata dan berinteraksi serta bertingkah laku tidak sesuai umurnya. Dampak tersebut merupakan salah satu ketakutan orang tua yang terjadi jika minimnya pengawasan mereka terhadap penggunaan teknologi oleh anak-anaknya. Trishalonita, sebagai salah satu narasumber yang pernah bermain RP sejak usia sekolah dasar menjelaskan bahwa banyak konten-konten yang terkadang tidak bisa dilihat oleh anak-anak dibawah umur yang memerlukan pendampingan oleh orang tua. Walau begitu, konten-konten sensitif yang ada sebenarnya bisa diseleksi menggunakan fitur yang ada di platform sosial media sehingga konten-konten tersebut tidak bisa dikonsumsi oleh anak-anak dibawah umur.
Terlepas dari keresahan yang terjadi didalam permainan RP, ternyata ada beberapa kesempatan yang bisa didapatkan oleh anak-anak dalam mencari serta menggali informasi untuk membentuk jati dirinya yang mulai berkembang ke fase remaja. Permainan roleplay yang menyediakan pengalaman dunia digital yang berbeda, membuat seorang anak bisa menelusuri lebih jauh pertemanan serta relasi tanpa memikirkan penilaian orang lain karena pada saat itu mereka menggunakan identitas orang lain bukan identitas asli dirinya. Ketakutan seorang anak berkenalan dan bertemu dengan orang-orang baru di kehidupan nyata jauh lebih menegangkan dibanding berkenalan secara online. Pertemanan secara online berlangsung lebih mudah karena seseorang tidak berkomunikasi secara tatap muka dan cenderung tidak melihat karakter serta identitas asli dari orang yang diajak untuk berkomunikasi tersebut sehingga penilaian yang mengintimidasi cenderung tidak terjadi dan seseorang bisa jadi lebih ekspresif dalam berkomunikasi di dunia maya.
Selain sosialisasi yang berjalan tanpa penilaian yang mengintimidasi, pertemanan atau hubungan di permainan roleplay yang dijaga secara intens bisa berlanjut pada hubungan serta pertemanan di dunia nyata. Pertemanan yang diawali tanpa penilaian di dunia roleplay, berlangsung lebih mudah dibandingkan pertemanan yang terjadi di dunia nyata yang biasanya meliputi penilaian terhadap atribut serta karakter yang ada pada seseorang. Maka dari itu, jika pertemanan dari dunia roleplay benar-benar dijaga secara baik, pertemanan tersebut bisa terus berlanjut secara tulus bahkan sampai melanjutkan hubungan pertemanan di dunia nyata. Penggunaan bahasa di dunia roleplay yang versatile juga menjadi salah satu keuntungan yang bisa didapatkan dari permainan di roleplay ini. Di dunia roleplay yang sering mencampurkan penggunaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, mampu mendorong kemampuan seorang anak untuk beradaptasi dan mempelajari bahasa yang mereka belum familiar sebelumnya. Hal ini bisa jadi pembelajaran serta pemahaman terhadap bahasa yang secara tidak langsung anak-anak lakukan di dunia roleplay ini.
Pada akhirnya, sisi buruk permainan roleplay sebenarnya merupakan hasil manifestasi dari penggunaan sosial media oleh anak yang berlebihan karena kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh orang tua. Sisi buruk yang ada di permainan roleplay pada dasarnya merupakan dampak negatif dari penyalahgunaan sosial media yang juga bisa terjadi pada aktivitas sosial media pada umumnya bahkan tanpa melakukan permainan peran. Maka dari itu, kebijakan serta peraturan yang diterapkan oleh platform sosial media sudah semestinya dipatuhi oleh seluruh pengguna untuk menciptakan pengalaman penggunaan sosial media yang positif. Oleh karena itu peran orang tua sangat diharapkan dalam mengawasi putra-putrinya dalam menggunakan sosial media secara bijak. Pola asuh orang tua kepada anaknya merupakan dasar pondasi yang sangat menentukan proses seorang anak dalam membentuk jati dirinya. Sosial media serta permainan roleplay merupakan salah satu contoh dari sekian banyak sarana untuk membentuk jati diri seorang anak. Pola asuh serta komunikasi orang tua yang baik bisa menjadi penentu keberhasilan seorang anak dalam eksplorasi untuk membentuk jati dirinya melalui sarana-sarana yang sudah tersedia di kehidupan nyata atau secara digital.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H