Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman masyarakat, mulai dari berbagai suku bangsa, golongan, agama, ras, kepercayaan, dan bahasa. Keragaman yang ada di Indonesia adalah kekayaan dan keindahan tersendiri untuk bangsa Indonesia, menjadi suatu kekuatan yang mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa kita. Menyatukan seluruh rakyat Indonesia untuk menjadi bangsa yang berdaulat dan satu, mengemban segala perbedaan menjadi satu di bawah semboyan bangsa Indonesia.
Dengan segala perbedaan tersebut, sudah dipastikan bahwa setiap manusia dilahirkan berbeda. Ada yang bisa pergi liburan setiap minggu, ada yang bahkan tidak bisa membeli makan untuk sore hari, ada yang selalu berlarian dengan riang, juga ada yang harus pergi ke rumah sakit setiap bulan, ada yang suka sekali berbicara dan mendengarkan tetapi ada juga yang tidak bisa melakukannya. Merekalah orang-orang spesial yang kurang mendapatkan kesadaran dari masyarakat, penyandang disabilitas.
Salah satu disabilitas yang kerap ditemui masyarakat adalah penyandang disabilitas sensorik. Nyatanya, masyarakat Indonesia kurang mendapatkan pemahaman yang baik mengenai mereka, salah satunya masyarakat lebih kerap menyebut tunarungu dibandingkan Tuli, padahal kata Tuli menunjukkan identitas dan lebih sopan.
Mengutip situs Universitas Sanata Dharma, secara penulisan, kata "Tuli" itu sendiri dipandang lebih sopan dan lebih nyaman untuk dipakai sebagai kata sapaan ketimbang tunarungu. Michelle, salah satu staf pengajar bahasa isyarat di Pusat Bahasa Isyarat Indonesia juga pernah menjelaskan "Tunarungu adalah istilah medis untuk menggambarkan keterbatasan dari sebuah fungsi, sedangkan Tuli merupakan istilah budaya atau cara berkomunikasi yang berbeda."
Hal ini menunjukkan betapa minimnya kesadaran masyarakat Indonesia mengenai hal tersebut. Bahkan, tak jarang diskriminasi terjadi terhadap komunitas Tuli. Salah satu contohnya yaitu seorang pejabat publik berteriak dan memaksa Tuli untuk mendengar dan latihan berbicara dengan dalih mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan. Bukan hanya tidak menghargai, ia juga mengolok-olok Komunitas Tuli, apalagi mengingat posisinya sebagai pejabat yang seharusnya lebih merangkul rakyat dengan disabilitas.
Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi gangguan pendengaran mencapai 16,8 persen atau setara dengan 35,28 juta jiwa di Indonesia. Sedangkan ketulian mencapai 0,4 persen atau 840 ribu jiwa. Yang berarti setiap tahunnya lebih dari 5 ribu bayi lahir dengan Tuli. Seperti halnya orang dengar memiliki bahasa Ibu, maka orang Tuli memiliki bahasa isyarat yang digunakan sebagai media berkomunikasi. Bahasa Isyarat merupakan bahasa yang istimewa bagi orang-orang Tuli. Kurangnya pemahaman mengenai bahasa isyarat dan dunia Tuli membuat masyarakat awam kebingungan ketika menemui Tuli yang membutuhkan bantuan.
Saat ini, bahkan masih banyak acara publik---seperti acara TV, film di bioskop, webinar, ataupun konferensi--yang tidak menyediakan Juru Bicara Isyarat (JBI) ataupun takarir yang memudahkan Tuli untuk mengetahui informasi yang disediakan.
Orang-orang Tuli hanya butuh kesetaraan dalam komunikasi, mendapat hak yang sama sebagai masyarakat Indonesia. Maka dari itu, mempelajari bahasa isyarat merupakan salah satu bentuk menghargai Tuli, walaupun baru mengetahui dasar-dasarnya, itu sudah cukup untuk berkomunikasi dengan Tuli dan membuat Tuli merasa lebih dihargai dan diterima di masyarakat, membuat mereka dapat berkomunikasi dengan lebih nyaman dan senang.
Hal kecil dimulai dari diri sendiri, mari bersama membangun Indonesia yang menghargai sesama dan merangkul satu sama lain. Hentikan diskriminasi terhadap disabilitas, mulailah sadari pentingnya bahasa isyarat untuk Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H