Lihat ke Halaman Asli

PPN Naik Lagi, Negara Untung Rakyat Buntung?

Diperbarui: 19 Desember 2024   23:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

PPN Naik 12%, Negara Untung Rakyat Buntung?

Berita tentang kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai menjadi trending topik dan menuai beragam reaksi dari masyarakat. Langkah pemerintah ini dilakukan dengan alasan untuk mengurangi defisit APBN. Dengan meningkatnya tarif PPN menjadi 12% tentu akan meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak dimana pajak merupakan penyumbang penerimaan paling besar dalam APBN, yang akhirnya dapat digunakan untuk mengurangi defisit anggaran dan memberikan kepastian mengenai kebijakan fiskal pemerintah dimasa yang akan datang. Namun, di sisi lain, banyak pihak khawatir bahwa kebijakan ini justru akan memberatkan masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah yang sudah tertekan oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Apakah kenaikan PPN benar-benar menguntungkan negara tanpa menciptakan dampak negatif bagi rakyat? Artikel ini akan mengulas lebih dalam implikasi kebijakan tersebut dari berbagai sudut pandang.

Pengertian, Dasar Hukum dan Peraturan tentang Kenaikan PPN

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan terhadap transaksi jual beli baik barang ataupun jasa yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha yang mendapat status Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN adalah salah satu jenis pajak yang paling umum dan sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat melakukan transaksi jual-beli. PPN merupakan pajak yang ditanggung oleh konsumen. Namun, kewajiban perpajakan mulai dari menghitung, menyetor, dan melapor dilakukan oleh penjual yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Kenaikan PPN menjadi 12% merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang disahkan pada tahun 2021. Dalam Pasal 7 UU HPP, disebutkan bahwa tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% akan dinaikkan secara bertahap, yakni 11% mulai 1 April 2022, dan 12% paling lambat pada tahun 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara.

Selain itu, pelaksanaan kenaikan PPN juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2022 yang memberikan pedoman teknis pelaksanaan pengenaan tarif PPN pada berbagai sektor ekonomi. Regulasi ini menjadi dasar hukum bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk memastikan kebijakan berjalan sesuai rencana.

Barang dan Jasa yang Terkena PPN 12%

Dalam paparannya, Sri Mulyani menyebutkan terdapat empat kelompok barang dan jasa yang akan dikenakan PPN 12%, yaitu:

  • PPN atas bahan makanan premium, seperti beras premium, buah-buahan premium, daging premium (daging wagyu dan kobe), ikan mahal (salmon premium, tuna premium), udang dan crustacea premium (king crab);
  • PPN atas jasa pendidikan premium (misalnya sekolah internasional dengan bayaran mahal);
  • PPN atas jasa pelayanan kesehatan medis premium (misalnya pelayanan di rumah sakit dengan kelas VIP); dan
  • PPN untuk listrik pelanggan rumah tangga dengan daya 3500--6600VA.

Dampak Kenaikan PPN terhadap Masyarakat dan Ekonomi

Kenaikan PPN menjadi 12% diproyeksikan mampu menambah penerimaan negara secara signifikan. Pemerintah beralasan, kebijakan ini merupakan upaya untuk memperkuat fiskal dalam menghadapi tantangan ekonomi global. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, PPN menyumbang lebih dari 40% dari total penerimaan pajak, sehingga penyesuaian tarif dianggap penting untuk mendukung program pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Namun, bagi masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah, dampaknya bisa terasa lebih berat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline