74 Tahun Republik Indonesia merayakan kemerdekaan, Jika kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, sesungguhnya Indonesia telah mendapatkan haknya sebagai bangsa yang merdeka. Tapi apakah tujuan Republik Indonesia hanya sebatas merdeka? Tentu tidak, karena sesungguhnya tujuan akhir Indonesia bukanlah hanya sebatas merdeka, karena merdeka hanya syarat untuk dapat mencapai kesejahteraan rakyat Indonesia. Seperti yang pernah di utarakan Bung Hatta "bahwa kemerdekaan Republik Indonesia bukan tujuan akhir, Karena merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagian dan kemakmuran rakyat Indonesia".
Hakekatnya, setiap negara memiliki tujuan didalamnya, karena negara merupakan organisasi tertinggi dalam suatu kelompok masyarakat. Ajaran dan konsep Plato mengatakan bahwa tujuan negara adalah memajukan kesusilaan manusia sebagai perseorangan (individu) dan makhluk sosial maka menurut ajaran serta konsep teokratis Thomas aquinas dan Agustinus bahwasanya tujuan negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tenteram dengan taat kepada Tuhan.
Sementara dalam Islam yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, bahwa tujuan negara adalah agar manusia dapat menjalankan kehidupanya sesuai dengan baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi pihak-pihak asing. Paradigma demikian sesungguhna didasarkan pada konsep sosiohistoris bahwa manusia diciptakan Allah SWT dengan watak dan kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat. Sedangkan menurut Ibnu Khaldum, tujuan dari sebuah negara untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat.
Dalam konteks negara Indonesia, sebagaimana yang termaktub dalam konstitusi bahwasanya tujuan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki tujuan serta cita-cita yang didalamnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, serta keadilan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Hal tersebutpun senafas dengan apa yang telah dikemukakan Bung Hatta.
Menurut pakar biopsikologi, Menjadikan kemakmuran sebagai tujuan negara menimbulkan reaksi biokimia positif di dalam otak seorang penyelenggara negara. Sebab kemakmuran dapat diukur dan memiliki indikator yang jelas dan nyata. Berbeda halnya apabila kemajuan dijadikan tujuan negara, sebab kemajuan, tidak bisa diukur dan tidak pula memiliki indikator yang jelas. Para pendiri republik ini justru menjadikan kemakmuran bahkan adil dan makmur, sebagai tujuan negara, karena sejatinya kemakmuran bisa dicapai lewat pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) secara benar dalam aspek ruang dan waktu.
Dalam perjalanannya Indonesia terus berbenah untuk mencapai hakekat kemerdekaan yang sesungguhnya. Hal tersebut tentu membutuhkan sebuah legitimasi yang kuat, mengingat unsur keberagaman yang dimiliki Indonesia berpotensi menimbulkan suatu perpecahan dan kehilangan kekuatan utama tersebut untuk menghadapi segala ancaman dan tantangan. Oleh sebab itu, potensi yang timbul harus senantiasa disadari sehingga semangat memupuk persatuan selalu terjaga. Terlebih problem kekinian yang terus akan dihadapi masyarakat semakin komplek. Keretakan sosial dapat saja terjadi karena perbedaan suku, ras bahkan perbedaan agama serta keyakinan, termasuk kepentingan politik. Jika sudah begitu, sulit rasanya mencapai cita-cita dan tujuan daripada bangsa ini kedepan.
Agar persatuan tersebut dapat terjaga segenap elemen bangsa, sehingga diperlukan sebuah ikatan yang dibuat serta ditumbuhkembangkan secara bersama. Jika pada masa sebelum kemerdekaan, ikatan yang mempersatukan komponen bangsa yang beragam adalah cita-cita terlepas dari penjajahan yakni kemerdekaan. Namun dalam konteks kekinian, ikatan yang dapat mempersatukan warga negara dan komponen bangsa dalam sebuah organisasi negara adalah "Konstitusi". secara teoritis konstitusi dikonstruksikan sebagai hasil perjanjian sosial seluruh rakyat Indonesia sebagai pemilik kedaulatan. Sementara dari sisi hukum konstitusi mendapatkan legitimasi dari rakyat yang berdaulat sehingga kedudukanya merupakan sumber hukum tertinggi.
Jika mengingat pasca Amandemen ke-empat, konstitusi kita seperti mengalami sebuah Krisis Konstitusi. Bagaimana tidak? Jika yang ditemukan didalamnya sebuah inkonsistensi, kontradiksi serta ketidakselarasan antarpasal maupun ayat yang termaktub dalam undang-undang tersebut. Akibatnya, negarapun terjebak pada sebuah kekuasaan oligarki, praktik penyelenggaraan lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum, namun mengabaikan pembangunan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utamanya.
Guru Besar Filsafat UGM yakni Prof. Dr. Kaelan pun pernah mengatakan bahwa amandemen UUD 1945 yang mengatur tentang negara Hukum, Tujuan Negara serta Demokrasi tidak menunjukan adanya sebuah hubungan yang koheren dengan nilai-nilai serta cita-cita hukum yang terkandung dalam esensi Staatsfundamentalnorm yakni Pancasila. Menurut beliau juga Hasil penjabaran dari amandemen UUD lebih memprioritaskan aspek Politik dan Hukum sementara tujuan negara welfare state tidak dijadikan prioritas.
Dari beberapa banyak Pasal yang kontradiksi, misalnya saja Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk Republik, kemudian dalam ayat (2) Menyebutkan kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Namun berdasarkan sistem demokrasi hasil amandemen kekuasaan eksekutif serta legislatif, menunjukan reperesentasi kekuasaan rakyat hanya berhenti pada Presiden, DPR dan DPD.