Lihat ke Halaman Asli

Mengikis Budaya ABS

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Atep Afia Hidayat - Ironis memang, ditengah-tengah upaya pembangunan sebagai upaya mensejahterakan bangsa, yang tentu saja memerlukan sistem manajemen pemerintahan yang unggul, budaya“Asal bapak Senang” (ABS) masih begitu kental. Bahkan, seolah terus kambuh. Dalam organisasi apapun, baik itu lembaga pemerintah, swasta atau sosial, budaya ABS itu selalu terjadi. Lantas, kenapa hal tersebut bisa terjadi, bukankah budaya ABS menimbulkan disfungsi pemerintahan atau organisasi apapun.

Budaya ABS dalam bentuk laporan ABS misalnya, jelas sangat mengacaukan jalannya proses manajemen dalam suatu organisasi. Pada dasarnya, laporan tersebut berisi kepalsuan dan data-data fiktif. Di mana didalamnya terjadi “penggelapan” fakta yang sebenarnya.

Sebagai contoh, oknum pegawai sebuah instansi tertentu yang berada di daerah, membuat laporan ABS. Hal itu tak lain disebabkan konditenya yang takut terancam, atau prestasi daerahnya dibidang tertentu takut tergeser oleh daerah lainnya.

Memang di antara organisasi, baik secara langsung atau tidak, senantiasa terjadi kompetisi, yaitu guna mencapai posisi tertentu. Untuk mencapai posisi yang “lebih baik” itu tentu saja banyak peminatnya, dan hanya yang benar-benar “berkondite baik” yang berhak menempati posisi tersebut. Maka tak heran, jika laporan yang sangat buruk di-agak-baik-an, sedangkan laporan yang buruk di-baik-an. Hal tersebut dapat dilakukan melalui make-up data.

Kurang Kontrol

Kenapa muncul laporan ABS, juga kenapa “si bapak” lantas menjadi “senang” dengan laporan tersebut. Dalam hal ini, patut pula dipertanyakan, kenapa “Si bapak” mau dan bisa “dikibuli” dengan data-data fiktif ?

Hal tersebut bisa terjadi karena “si bapak” memang kurang mengawasi bagaimana “bawahannya” bekerja. Atau dengan kata lain, bahwa “si bapak” kurang melaksanakan kontrol, hingga tidak mengetahui secara jelas dan rinci, bagaimana kondisi yang sesungguhnya.

Kalau sebatas laporan yang dituangkan melalui angka-angka statistik, sepintas lalu memang tampak begitu menyakinkan. Apalagi bagi yang kurang memahami apa itu statistik, bahkan angka-angka tersebut bisa menakjubkan.

“Wow, hebat sekali laju peningkatan produksi, hingga bisa tumbuh sekian persen”. Tatkala deretan angka tersebut dibolak-balik, lantas ‘si bapak” pun menjadi senang. Begitu pula bawahannya ikut pura-pura senang, padahal dalam bathinnya berkecamuk perang, “Bagaimana jika ketahuan belangnya”.

Seolah-olah kedua belah pihak, baik ‘si bapak” atau bawahannya, sama-sama merasa puas dengan hasil kerjanya. Celakanya, kepusan itu bersumber dari “kepalsuan”. Si bawahan merasa puas, karena dengan jitu mampu “mengibuli” atasannya. Sedangkan “si bapak” pun merasa puas, entah dengan data-data yang ada, entah dengan “kelihaian” si bawahan, atau entah dengan kepura-puraan dirinya sendiri.

Lebih celaka lagi jika laporan fiktif tersebut dibuat berdasarkan “persekongkolan”. Maka sudah jelas administrasi pun menjadi kacau, manajemen pun menjadi amburadul. Kalau sudah demikian, makna perencanaan dan pengawasan (kontrol) menjadi kabur. Buat apa diselenggarakan kontrol dan dibuat perencanaan, toh hasilnya hanya berupa data-data fiktif.

Kasus kurangnya kontrol atasan atau “si bapak” terhadap bawahan, terutama disebabkan lemahnya faktor kepemimpinan. Dengan kata lain, managerial skill “Si bapak” belum memadai.

Kalau kenyataannya demikian, lantas kenapa “Si Bapak” bisa menduduki posisi pimpinan atau atasan. Hal itu tak lain karena masih membudayanya “manajemen katrolan”. “Si Bapak” menduduki posisi karena sesuatu hal, bisa berupa proses koneksi-koneksi-an, karbit-karbit-an, atau katrol-katrol-an.

Kunci keberhasilan manajemen adalah skill dan prestasi. Jika faktor 4-D (duit, dulur, deuheus, domba) sangat berpengaruh dalam manajemen, maka organisasi tersebut tidak akan tumbuh optimal, kecuali hanya sebatas “organisasi kekeluargaan”. Dalam organisasi yang demikian, jelas hal-hal seperti laporan ABS akan sering muncul, karena sikap tenggang rasa terlalu berlebihan.

Lemah Mental

Unsur mentalitas turut mewarnai lahirnya budaya ABS. Para pembuat laporan ABS cenderung memiliki mental yang kurang sportif. Tidak mau menghadapi risiko dan realitas, serta tidak peduli dengan fakta yang ada.

Untuk menumbuhkan mental yang positif dan sportif tentu saja harus diupayakan pembinaan yang berkesinambungan, umpamanya melalui berbagai pendidikan dan latihan, penataran, atau bentuk-bentuk lainnya.

Dalam hal ini patut dikembagkan budaya pengawasan melekat (Waskat). Sedangkan, waskat itu hanya bisa dijalankan secara berkesinambungan jika control diri (self control) terus-menerus dilaksanakan tanpa henti.

Untuk itu diperlukan “pengawasan yang senantiasa mengawasi”. Kalau sekedar pengawasan dari “si bapak” atau atasan, tentu hanya berupa pengawasan sesaat, yang hanya berlaku sepanjang jam kerja. Itupun hanya pada bagian-bagian tertentu, yakni karena pengawasan dari atas hanya sewaktu-waktu atau temporer. Sedangkan pengawasan dari Arraqib (Maha Peneliti, yang mengamati gerak gerik segala sesuatu dan mengawasinya), berlaku sepanjang masa.

Tentu saja kesadaran akan hadirnya Sang Maha Pengawas harus terus menerus ditumbuh-kembangkan. Dan haya dengan itu pula mental bisa benar-benar positifdan sportif.

Di tengah kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, sudah semestinya budaya “Asal Bapak Senang” dikikis habis. Untuk tu harus ada sanksi yang jelas dan tegas bagi si pelaku. Kenyatannya budaya ABS itu akan menyebabkan kondisi bangsa dan negara ini makin terpuruk. (Atep Afia, pengelola PantonaNews.com)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline