Lihat ke Halaman Asli

Obsesi Kemandirian Koperasi

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh : Atep Afia Hidayat - Pada tanggal 12 Juli 1947, bertempat di Gedung Pabrik Tenun Perintis, Tasikmalaya, berlangsung Kongres Koperasi I. Pesertanya mencapai 500 orang berasal dari kota-kota di Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Hingga saat ini setiap tanggal 12 Juli selalu diperingati sebagai "Hari Koperasi Indonesia". Lantas, sejak kapan koperasi berdiri di Indonesia, apakah benar usianya baru 47 tahun ? Sebenarnya cikal bakal perkoperasiaan di negara kita ialah dengan didirikannya Bank Pegawai (Hulp-En Spaarbank De Inlandsche Bestuung Amstenaren) oleh Raden Aria Wiria Atmadja di Purwokerto tahun 1896. Sedangkan, koperasi yang pertama di dunia didirikan tahun 1844 di Rochdale, Inggris. Jadi sebenarnya keberadaan koperasi di Bumi Nusantara sudah muncul sejak abad ke 19. Dengan merdekanya Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, maka keberadaan koperasi makin diperkokoh, antara lain dengan dimasukkannya ke dalam pasal 33 UUD 45 (pasal 1). Dengan demikian, sejak saat itu koperasi telah menjadi amanat konstitusi, hingga koperasi pun dinyatakan sebagai "soko guru" perekonomian nasional. Lantas, 64 tahun setelah Kongres I di Tasikmalaya, apakah koperasi telah benar-benar menjadi "soko guru" ? Soko guru artinya sesuatu yang menjadi penegak atau pengukuh. Sudah tentu yang namanya pengukuh itu harus bersifat mandiri dan eksis. Koperasi sebagai "soko guru" perekonomian nasional, artinya koperasi itu menjadi pengukuh dalam perekonomian nasional. Apakah kenyataannya demikian, dengan kata lain posisi koperasi sudah sebagaimana mestinya. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM (posisi 30 Desember 2010), jumlah koperasi di Indonesia mencapai 177.482, sebanyak 52.627 dalam kondisi tidak aktif. Jumlah anggota koperasi mencapai hampir 30,5 juta orang, dengan volume usaha mencapai 72,822 triliun rupiah. Data menunjukkan, saat ini kontribusi koperasi terhadap produk domestik (PDB) hanya sekitar 1 - 2 persen. Dengan demikian kotribusi sector swasta dan BUMN terhadap PDB mencapai 98 - 99 persen. Sebagai perbandingan aset BUMN tahun 2010 mencapai Rp. 2.500 triliun. Dengan performa seperti itu, bisakah koperasi dinyatakan mandiri dan menjadi "soko guru" perekonomian nasional ? Tentu saja masih jauh, setidaknya kontribusi koperasi harus mencapai 40 persen, baru predikat "soko guru" itu disandang. Lantas berapa dekade lagi hal itu bisa tercapai, jika upaya pengembangan perkoperasian masih relatif jalan ditempat. Kondisi koperasi masih jauh dari mandiri. Koperasi masih tertinggal jauh oleh bangun usaha lainnya, untuk mensejajarkannya di perlukan waktu yang cukup lama. Apalagi jika mengingat prinsip dasar koperasi dalam pertumbuhannya harus bersifat grass root (tumbuh dari bawah), dan bukannya secara top down (dari atas). Pasal 5 UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menyebutkan, bahwa koperasi melaksanakan prinsip Koperasi sebagai berikut: keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka; pengelolaan dilakukan secara demokratis; pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota; pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; dan kemandirian. Pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa sukarela merupakan syarat menjadi anggota koperasi. Jika anggota koperasi dihimpun berdasarkan target pencapaian, jelas menyalahi prinsip sukarela. Selain itu anggota yang direkrut berdasarkan cara tersebut, sudah jelas tak akan bersikap kritis dan partisipasif terhadap koperasi. Kehadirannya dalam organisasi koperasi mungkin hanya sebagai pelengkap atau untuk memenuhi daftar anggota belaka. Koperasi yang demikian mengarah pada fenomena pseudo cooperative atau koperasi yang semu, sudah tentu tak akan mampu tumbuh dan berkembang. Cenderung sangat tergantung pada uluran tangan dari luar, serta tidak mandiri baik dalam memenuhi kebutuhan dana atau dalam kegiatan lainnya. Umumnya koperasi yang meraih terbaik tingkat nasional, kunci suksesnya tak lain karena didirikan berdasarkan kebutuhan masyarakat serta tidak ditumbuhkan dari atas. Selain itu juga dikelola oleh pengurus yang penuh dedikasi dan tanpa pamrih. Pengelolaan koperasi berbeda dengan bangun usaha lainnya, ada ciri khas atau karakter tertentu yang melekat pada pengurus dan anggota koperasi, antara lain sifat tanpa pamrih atau sukarela. Seorang manajer profesional yang sukses megelola sebuah perusahaan di lingkungan konglomerat atau BUMN, belum tentu bisa mengelola koperasi. Koperasi merupakan badan usaha yang unik, yaitu selain mengejar laba juga berupaya meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian, sang manajer koperasi selain memiliki wawasan bisnis juga dituntut untuk memiliki watak sosial yang tinggi. Pertumbuhan sektor koperasi memang perlu terus dipacu, antara lain melalui dukungan penuh dari pemerintah. Pemerintah berkewajiban memberikan bimbingan, pengawasan dan perlindungan terhadap koperasi. Dalam hal ini kebijakan pemerintah tidak selalu identik dengan top down. Di sisi lainnya BUMN dan swasta sudah selaykanya memberikan perhatiannya terhadap koperasi. Namun dalam hal ini jangan sampai mencampuri urusan internal koperasi. Pola hubungan yang diterapkan sebaiknya mengacu pada kemitraan. Bentuk kemitraan antara koperasi dengan swsata nasional umpamanya, diwujudkan melalui pengalihan saham kepada koperasi. Cara yang dapat ditempuh, pertama perusahaan yang sudah go public bisa menjual sahamnya kepada koperasi dengan tingkat harga yang sesuai tingkat harga di bursa saham; Kedua, perusahaan yang belum go public bisa menjual sahamnya dengan tingkat harga perdana; serta ketiga, melalui cara hibah. Namun cara yang ketiga tersebut jangan sampai menimbulkan kesan memanjakan koperasi serta merongsong kemandirian koperasi. Dengan pengalihan saham secara cuma-cuma tak akan menyebabkan bertambahnya tantangan bagi koperasi, sehingga dampak positif terhadap koperasi relatif kecil. Antara BUMN dan koperasi juga sudah sepantasnya program kemitraan terus dikembangkan, selain melalui penyisihan sebagian labanya untuk membantu permodalan koperasi, juga diharapkan bisa bekerjasama dalam bidang produksi, pengadaan bahan baku, dan pemasaran. Untuk mempercepat kemandirian koperasi, sudah semestinya koperasi diberikan kesempatan yang lebih luas dalam segmen bisnis tertentu yang selama ini hanya dikuasai oleh BUMN dan swasta, seperti penyaluran sembilan bahan pokok, ekspor-impor, atau hak pengusahaan hutan (HPH). Sebenarnya banyak bidang bisnis yang dapat dikelola oleh koperasi. Untuk mendapatkan berbagai proyek tersebut, sudah selayaknya kredibilitas dan kapabilitas koperasi makin ditingkatkan, antara lain melalui pengembangan sumberdaya manusia (SDM), memperbaiki struktur permodalan, dan memantapkan manajemen. Sudah selayaknya baik koperasi primer, koperasi sekunder maupun gerakan koperasi benar-benar mampu menjelma menjadi sokoguru perekonomian nasional. (Atep Afia, pengelola PantonaNews.com).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline