Lihat ke Halaman Asli

Koruptor Vs Miskiner

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh : Atep Afia Hidayat -

Ada keinginan yang kuat dari pemerintahan yang sekarang atau pemerintahan yang sebelumnya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Tahun 2011 ini pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 86,1 triliun untuk menakan angka kemiskinan ke level 11,5 - 12,5 persen.

Dengan jumlah penduduk mendekati 240 juta, seandainya upaya pengurangan jumlah penduduk miskin tersebut berhasil, tetap saja penduduk miskin yang tersisa masih cukup banyak, yaitu sekitar 27 - 30 juta jiwa. Meskipun anggaran cukup besar, namun upaya tersebut selalu dihadapkan pada beragam kendala, mulai dari program yang tidak jelas, pelaksanaan yang meleset, penduduk miskin yang tidak siap meninggalkan kemiskinannya, dan faktor korupsi.

Ya, betapa teganya-teganya-teganya sang koruptor mencuri dana yang diperuntukan bagi para miskiner. Sekian puluhpersen dari dana untuk menekan angka kemiskinan, akan pindah tangan ke para koruptor dengan berbagai modus operandi, mulai dari cara-cara yang sifatnya kuno sampai yang paling canggih.

Ya, negeri subur makmur loh jinawi ini juga sangat "subur'' dengan para koruptor, tersebar dari pusat hingga ke daerah, mulai dari pangkat rendahan sampai yang berpangkat tinggi. Tak heran jika sejumlah kepala daerah kini menjadi tersangka korupsi. Bahkan, yang lebih memprihatinkan ada yang sudah berstatus terdakwa dilantik menjadi walikota . Bagaimana mungkin sang koruptor bisa menjalankan tugas dan kewenangannya, padahal harus mendekam di penjara.

Koruptor dan miskiner selalu menjadi pusat pemberitaan, baik di media cetak, elektronik maupun online. Begitu kontradiktif, di satu sisi diberitakan adanya penduduk yang meninggal karena mengkonsumsi tiwul yang terbuat dari singkong beracun. Di sisi lainnya ada pejabat yang mencuri uang rakyat sampai ratusan milyar rupiah.

Puluhan juta miskiner tersebar di berbagai daerah, dengan variasi kemiskinannya, mulai dari yang sama sekali tidak memiliki apapun buat dimakan, sampai yang dalam kondisi penghasilannya tidak mencukupi biaya hidup sehari-hari.  Kriteria kemiskinan memang masih diperdebatkan, namun yang terpenting ialah bagaimana pemerintah bersungguh-sungguh untuk secara serius menolong  rakyat miskin.

Penyebab utama kemiskinan ialah cara berpikir miskiner itu sendiri. Kaum miskin terperangkap dalam cara berpikir negatif, pesimis, sempit dan ketiadaan harapan. Kemudian cara berpikir ini berimbas pada kebiasaan dan sikap hidup sehari-hari, yang akhirnya akan mengkristal menjadi sebuah karakter miskin dengan ujung nasib miskin.

Upaya pengentasan kemiskinan perlu dilakukan melalui pembinaan dan pelurusan cara berpikir secara bertahap. Kemudian pembinaan kebiasaan dan sikap yang mengarah pada pandangan bahwa prospek dan harapan hidup yang lebih baik  itu selalu ada dan bisa diraih.  Setelah berhasil mengembangkan cara berpikir, langkah berikutnya ialah pembinaan menyangkut cara berusaha, barulah diberi bantuan modal.

Miskiner perlu dilatih secara benar bagaimana cara "memancing", bukan sekedar diberi "ikannya" saja, atau "pancingnya" saja. Dalam hal ini tenaga pembina atau pendamping bagi miskiner untuk bangkit, tentu saja harus orang-orang yang memiliki idealisme dan kemampuan berwirausaha.

Dengan anggaran Rp 86,1 triliun, kalau dikelola secara profesional dan amanah, tentu akan berpengaruh terhadap perbaikan nasib si miskin. Apalagi jika mengingat jumlah wirausahawan di negari ini hanya 0,2 persen dari angkatan kerja. Padahal kalau negeri ini mau maju, idealnya jumlah wirausahawan di atas 2 persen dari angkatan kerja. Ya, mudah-mudahan tahun 2011 ini menjadi momentum untuk menekan jumlah miskiner, sekaligus menambah jumlah wirausahawan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline