Lihat ke Halaman Asli

“Mengkatrol” SDM Pertanian

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

130990835639541949

Oleh : Atep Afia Hidayat - Sampai saat ini sektor pertanian masih menghadapi banyak tantangan, satu di antaranya ialah menyangkut kualitas sumberdaya manusia (SDM). Indeks kualitas SDM pertanian tampaknya lebih rendah jika dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari tingkat pendidikan sebagian besar petani yang memang rendah. Lebih dari 70 persen petani hanya mengenyam tingkat pendidikan dasar, itupun sebagian besar tidak menamatkannya. Upaya perbaikan kualitas SDM pertanian perlu lebih diprioritaskan. Untuk sektor pertanian, langkah peningkatan kualitas secara umum antara lain menyangkut penerapan dan pengembangan konsep produktivitas dan efisiensi yang notabene sangat ditentukan oleh kualitas SDM. Sebenarnya posisi sektor pertanian menjadi lebih penting, hal itu berkaitan dengan pesatnya pertumbuhan sektor industri. Idealnya setiap laju pertumbuhan industri selalu diimbangi laju pertumbuhan pertanian. Menurut Rahardjo (1986), ada berbagai alasan mengapa sektor pertanian perlu dibangun terlebih dahulu, yakni : Satu, barang-barang hasil industri memerlukan daya beli masyarakat. Karena sebagian besar calon pembelinya adalah masyarakat petani yang merupakan mayoritas penduduk negara-negara sedang berkembang, maka tingkat pendapatan mereka perlu ditingkatkan melalui pembangunan pertanian. Dua, untuk menekan ongkos produksi dari komponen upah diperlukan tersedianya bahan makanan yang murah, sehingga upah dan gaji yang diterima dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan pokok pegawai. Ini bisa dicapai apabila produksi hasil pertanian, terutama pangan dapat ditingkatkan sehingga harganya bisa lebih murah dan terjangkau oleh dayabeli. Tiga, industri juga membutuhkan bahan mentah yang berasal dari sektor pertanian, dan karena itu produksi bahan-bahan industri memberikan basis bagi pertumbuhan industri itu sendiri. Sebagai konsekuensi dari percepatan pertumbuhan sektor industri yang perlu diimbangi sektor pertanian, yakni menyiapkan kualitas SDM yang memadai. Bagaimanapun pertanian yang mengacu pada produktivitas dan efisiensi yang tinggi perlu ditunjang oleh petani-petani yang terampil dan menguasai teknologi tepat guna. Kondisi SDM pertanian saat ini dapat dilihat dari beberapa parameter sosial dan ekonomi. Dari segi pendidikan diketahui mayoritas petani tingkat pendidikannya rendah. Kalaupun ada perbaikan pada generasi berikutnya, yakni mampu menyelesaikan sekolah menengah, anak-anak petani itu sebagian besar tidak lagi meneruskan profesi orang tuanya. Jaman memang sudah berubah, era keemasan agraria perlahan mulai digantikan dengan gema industrialisasi. Bersamaan dengan tergusurnya lahan pesawahan untuk dijadikan kawasan industri, beralih pula profesi sebagian petani. Hal itu merupakan konsekuensi yang logis, bagaimanapun setiap orang berhak mencari penghidupan yang lebih layak, memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dan jaminan sosial yang lebih jelas. Dengan demikian penyediaan fasilitas pengembangan SDM pertanian, seperti lembaga pendidikan formal atau non formal, hanya bernilai optimal jika ada nilai tambah yang tinggi dalam sektor pertanian. Dengan kata lain, upaya peningkatan kualitas SDM pertanian perlu diimbangi oleh kebijaksanaan khusus menyangkut peningkatan nilai tambah. Tak dapat dipungkiri bahwa petani-petani padi saat ini jauh lebih terampil dan lebih menguasai teknologi dibanding petani sebelumnya, hal itu tak lain berkat adanya kegiatan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan. Namun jika dilihat dari segi pendapatan, ternyata tak menunjukkan perkembangan yang berarti. Petani makin pintar namun kondisi ekonominya tak banyak berubah. Maka tak heran jika para petani itupun kurang menghendaki anak-anaknya untuk terjun dibidangnya. Tak sedikit yang menjual asetnya seperti sawah, ladang, ternak, demi untuk biaya sekolah. Petani berharap agar anak-anaknya menjadi orang kantoran atau orang pabrikan, tidak seperti dirinya lagi yang hanya orang sawahan. Dengan demikian makin banyak anak petani yang melupakan sawah-ladangnya, karena lebih asyik dengan komputer atau deru mesin pabrik. Sawah menjadi asing bagi dirinya, bahkan dalam benaknya muncul pertanyaan "kapan sawah bapak dibeli konglomerat, dibuldozer dan dijadikan pabrik..." Kondisi SDM pertanian saat ini memang tertinggal jauh dari SDM sektor lainnya, hal itu pula yang menjadi penyebab utama merosotnya nilai tukar petani (NTP) padi di Jawa dan beberapa propinsi luar Jawa. Padahal petani itulah yang menjadi sektor utama swasembada beras, namun insentif yang diperoleh ternyata kurang sesuai dengan prestasinya. Selama ini teknologi budidaya telah berhasil diserap sekaligus dilaksanakan petani, hingga produksi padi pun terdongkrak, namun ternyata nilai tambah yang diperoleh kurang optimal. Menyangkut langkah introduksi teknologi pertanian, Bunch, dalam bukunya Two Ears of Corn, A Guide to People-Centered Agricultural Improvement, yang diterbitkan tahun 1982, mengajukan beberapa pertanyaan : Apakah teknologinya memenuhi suatu kebutuhan yang dirasakan?; Apakah teknologinya secara financial menguntungkan ?; Apakah teknolginya membawa keberhasilan nyata dalam waktu singkat ?; Apakah teknologinya sesuai dengan pola pertanian setempat ?; Apakah teknologinya mendayagunakan sumberdaya yang sudah dimiliki ?; Apakah teknologinya relative bebas risiko ?; Apakah teknologinya dapat diterima secara budaya setempat ?; Apakah teknologinya lebih padat karya daripad apadat modal ?; Apakah teknologinya mudah dipahami ?; Apakah teknologinya terarah pada pasar-pasar yang memadai ? Keberhasilan program seperti Bimas-Inmas hingga Insus-Supra Insus yang pernah diterapkan, menunjukkan suatu keberhasilan dalam introduksi teknologi kepada petani. Sebagian besar dari pertanyaan-pertanyaan Bunch tersebut memang bisa dijawab Ya, namun menyangkut pertanyaan, apakah teknologinya secara finansial menguntungkan ? memang belum dapat dijawab Ya secara menyakinkan, mengingat nilai tambah dari usaha tani padi yang belum menggembirakan. Pada beberapa kelompok petani yang menggantikan padi dengan tanaman lain ada kecenderungan diperoleh tingkat pendapatan yang lebih baik. Sebagai contoh hasil pemantauan penulis di Desa Dencarik, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali, beberapa tahun lalu, kelompok petani yang mengusahakan tanaman anggur sebagai pengganti padi, memperoleh pendapatan tiga kali lipat petani padi. Upaya penggantian komoditi tersebut tentu tidak mudah, bagaimanapun budidaya padi sudah dilakukan secara turun-temurun. Untuk kondisi saat ini upaya pengadopsian inovasi teknologi oleh petani memang tidak sesulit dekade-dekade sebelumnya, meskipun respon petani untuk setiap daerah amat berlainan. Ada kecenderungan petani dataran tinggi lebih responsif dibanding petani dataran rendah, begitu pula petani ladang lebih mudah menerima introduksi teknologi dibanding petani sawah. Hal itu ada kaitannya dengan sistem pertanian sawah yang umumnya didataran rendah yang relatif lebih stabil. Sebagai gambaran, jika kita berjalan-jalan di kawasan pantai utara Pulau Jawa, dari tahun ke tahun yang bisa dilihat hanyalah tanaman padi. Sedangkan di kawasan Puncak-Cipanas, Pangalengan, Ciwidey, Dieng atau Tana karo, dalam setahun bisa didapatkan puluhan komoditi, mulai dari kubis, kentang, bawang putih, asparagus, dan sebagainya. Padahal petani sawah atau petani dataran rendah merupakan mayoritas dari seluruh petani yang ada. "Mengkatrol" SDM pertanian artinya melakukan suatu usaha yang sungguh-sungguh agar kualitas SDM meningkat dalam waktu yang tak terlalu lama. Tujuannya tak lain agar kesenjangan kualitas SDM pertanian dengan SDM sektor lainnya tidak terlampau lebar. Selain itu juga dimaksudkan agar upaya peningkatan produtivitas dan efisiensi sektor pertanian bisa lebih lancar. Sebenarnya yang paling membutuhkan perhatian untuk pengembangan SDM lebih lanjut ialah kelompok petani kecil dan buruh tani. Sedangkan kelompok petani menengah dan petani kelas kakap sudah tinggal landas lebih dulu, bahkan sebagian di antaranya telah berhasil menerapkan teknologi tinggi seperti pemanfaatan kultur jaringan dan jenis bioteknologi lainnya. Keberadaan sektor pertanian yang mapan ini telah sejajar dengan industri dan bisnis lainnya, tidak heran jika kegiatan usahanya pun dikenal dengan agroindustri dan agribisnis. Dengan demikian permasalahannya ialah bagaimana cara menerapkan prinsip-prinsip industri dan bisnis pada pertanian skala kecil. Bagaimana agar petani kecil dan buruh tani selaku SDM sektor pertanian bisa berpartisipasi aktif dalam kegiatan angribisnis dan agroindustri. Beberapa "jurus" "pengkatrolan" SDM yang dapat diterapkan antara lain : Satu, meningkatkan keahlian dalam bidang manajemen dan teknis usaha pertanian Dua, meningkatkan keahlian dalam mencermati situasi pasar. Bagaimanapun produk petani harus mampu menembus pasar dengan nilai jual yang baik. Sebenarnya secara berkelompok, misalnya melalui koperasi produksi, berbagai produk petani kecil dapat menembus pasar ekspor. Tiga, meningkatkan akses petani terhadap perbankan, yakni menyangkut penguasaan tata cara berhubungan dengan sumber permodalan. Empat, meningkatkan keprofesionalan penyuluh dan aparat dinas-instansi terkait. Sebenarnya yang termasuk SDM sector pertanian, selain petani juga penyuluhan dan aparat dinas-instansi terkait. Bahkan meliputi kalangan ilmuwan bidang pertanian, baik yang ada di perguruan tinggi atau lembaga penelitian. Kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestic bruto (PDB) tinggal belasan persen saja, dan angka itupun terus menyusut. Namun bagaimanapun masih sekitar 50 persen populasi Bangsa Indonesia masih menggantungkan nafkah pada sektor pertanian, selain itu sekitar 237 juta rakyat memerlukan bahan pangan, dengan tuntutan kualitas dan kuantitas yang semakin tinggi. Hal itu selain sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk, juga karena makin membaiknya tingkat pendapatan atau taraf hidup. Dengan demikian upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi sektor pertanian menjadi semakin penting, dan hal itupun hanya dapat terlaksana jika kualitas SDM-nya sudah benar-benar meningkat. Untuk itu langkah "pengkatrolan" kualitas SDM pertanian memang tak bias ditunda lagi. (Atep Afia, pengelola PantonaNews.com).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline