Oleh : Atep Afia Hidayat - Korupsi bagaikan wabah penyakit yang proses penularannya begitu cepat. Korupsi bermula di ibu kota negara, kini merambah sampai ke desa-desa, bahkan sampai ke kampung-kampung. Hampir di setiap proyek pasti di situ ada koruptor. Berapapun nilai proyeknya, apapun jenis proyeknya, baik jalan, jembatan, bangunan, bahkan proyek pengentasan kemiskinan pun tak luput dari gerayangan tangan koruptor. Terlalu ! Korupsi adalah sebuah perselingkuhan, mulai dari selingkuh jabatan, selingkuh kewenangan, selingkuh rencana dan selingkuh laporan. Koruptor dengan sengaja dan penuh kesadaran membuat penyimpangan, pelanggaran, pengalihan, dan pencurian, dengan tujuan utama memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Ya, banyak juga kasus korupsi yang melibatkan sebuah tim koruptor. Di mana ada pembagian tugas dan tentu saja pembagian hasil curian. Dengan demikian, pada dasarnya ada korupsi perseorangan atau tunggal ada korupsi beregu. Sudah banyak kasus korupsi di negeri tercinta ini yang terungkap ke permukaan, ada yang diselesaikan melalui proses hukum atau peradilan, ada juga yang diambangkan, ada kasus dan penanganan, namun tidak ada vonis. Di sisi lainnya banyak juga kasus korupsi yang terbenam "di dasar laut". Tidak ada yang mengungkap, bahkan tidak ada yang menyentuh, inilah jenis korupsi "adem ayem bablas angine". Berapa banyak uang negara atau uang rakyat yang berhasil dijarah para koruptor, baik pada masa orde baru atau orde reformasi, sudah tentu tidak ada yang memiliki data akuratnya. Kalaupun ada hanya dugaan saja, yang mengacu pada asumsi-asumsi yang memiliki banyak factor kekeliruan. Bagaimanapun, nilai korupsi pada kasus korupsi yang terbenam "di dasar laut", tak seorang pun memiliki datanya dan sulit menghitung apalagi mengusutnya. Korupsi melibatkan banyak pihak, yang sama-sama memiliki "kesepakatan" untuk saling member keuntungan, meskipun yang dikorbankan adalah rakyat, bangsa atau masa depan Negara. Otak para koruptor memang pendek, tidak sempat memikirkan idealisme dan nasionalisme. Bagi mereka yang penting menguasai harta yang "berjibun", yang bisa menjadikannya hidup dalam surge dunia, kalau perlu sampai tujuh turunan. Terlalu ! Korupsi skala nasional adalah perselingkuhan secara nasional, melibatkan oknum-oknum petinggi negara, petinggi daerah, pengusaha dan kalangan lainnya, bahkan petinggi hukum pun sering berpartisipasi aktif. Kalau sudah dilakukan secara kolektif dan antar komponen pengelola negara, maka masa depan bangsa dan negara ini menjadi sangat mengenaskan. Dengan susah payah rakyat menghimpun pajak, tidak hanya rakyat yang makmur, rakyat yang pas-pasan pun turut menjadi obyek pajak. Seribu dua ribu rupiah dihimpun dan menggelembung menjadi ratusan trilyun rupiah. Tujuan utamanya untuk kelangsungan bangsa dan Negara, karena semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara perlu pembiayaan. Mulai dari pendidikan, kesehatan, keamanan, pertahanan, infrastruktur, dan sebagainya. Rakyat memberikan amanah supaya uang pajak dipergunakan untuk memperbaiki kesejahteraan seluruh bangsa. Namun apa yang terjadi, bahkan uang pajak pun digerogoti, dipergunakan untuk kemakmuran orang per orang, kemakmuran oknum pengelola negara. Korupsi di antara dua orde memang makin menjadi-jadi. Bahkan ada kecenderungan, korupsi pada masa orde reformasi berupaya memecahkan rekor korupsi pada masa orde baru. Korupsi pada masa orde reformasi makin transparan, makin nekat dan makin menggila. Pantas muncul ungkapan, kalau pada era orde lama korupsi terjadi "di bawah meja", era orde baru " di atas meja", dan pada era orde reformasi "dibawa dengan meja-mejanya". Terlalu ! Teganya-teganya-teganyaaa !. (Atep Afia) Sumber Gambar: http://www.suarapembaruan.com/politikdanhukum/inpres-pemberantasan-korupsi-tak-efektif/6796
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H