Lihat ke Halaman Asli

Pangan dan Keluarga Berencana

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Atep Afia Hidayat - Masalah umum yang di hadapi oleh negara sedang berkembang seperti indonesia, yakni laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi. Hal tersebut membawa konsekuensi terhadap pemenuhan semua kebutuhan hidup seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pekerjaan, transportasi, pendidikan, dan sebagainya.

Khusus untuk memenuhi kebutahan pangan, maka berbagai upaya telah di tempuh, yang pada dasarnya untuk mencapai swasembada pangan. Swasembada pangan yang dapat terwujud sejak tahun 1984, menunjukan keberhasilan pembangunan sector pertanian saat itu.

Swasembada pangan artinya terpenuhi kebutuhan pangan penduduk, hingga pemerintah tidak perlu lagi mendatangkan dari luar negri (mengimpor).

Kelestarian swasembada pangan akan terancam, manakala laju pertumbuhan penduduk tetap masih tinggi. Dengan demikian, terdapat kaitan yang cukup erat antara swasembada pangan dengan laju pertumbuhan penduduk.

Program keluarga berencana (KB) menjadi alternatif terpenting untuk mempertahankan posisi "persedian pangan yang mencukupi kebutuhan penduduk ". Jika laju pertumbuhan penduduk masih tetap tinggi, maka dituntut berbagai upaya untuk terus menerus meningkatkan produksi pangan. Orientasi ke arah kuantitas ini sebenarnya merupakan inhibitor dalam upaya meningkatkan kualitas hidup penduduk.

Sebagaimana diketahui bahwa kebutuhan pangan penduduk tidak terbatas pada "jumlah" yang harus di penuhi, tetapi juga mencakup "mutu", dengan kata lain selain jumlahnya memadai, kandungan gizi nyapun harus memenuhi.

Dalam sepuluh tahun terakhir laju pertumbuhan penduduk di indonesia masih sekitar 1,49 persen, atau terjadi penambahan penduduk sekitar 4,5 juta orang per tahun. Sedangkan berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, jumlah penduduk menjapai 237 juta jiwa. Tersebar di Pulau Jawa 58 persen, Sumatra 21 persen, Sulawesi 7 persen, Kalimantan 6 persen, Bali dan Nusa Tenggara 6 persen, serta Papua dan Maluku 3 persen. Sementara itu tingkat konsumsi beras mencapai 139 kg per kapita per tahun (anjuran pakar gizi, cukup 90 kg per kapita pertahun).

Sangat logis jika selama ini pembangnan sub sektor tanaman pangan begitu diprioritaskan, khususnya untuk tanaman padi. Tingkat konsumsi beras yang cukup tinggi dan melebihi anjuran pakar gizi tersebut, disebabkan pola konsumsi yang belum mengalami diversifikasi.

Sudah semestinya tingkat ketergantungan terhadap beras di kurangi. Sebenarnya masih banyak alternatif laiin yang bisa menggantikan beras, seperti ubi-ubian, yang kandungan kalori dan gizinya tidak kalah dengan beras. Persoalannya menyakut kultur dan kebiasaan yang sudah tertanam sejak jaman nenek moyang.

Dalam pelaksanaan program KB, Indonesia terbilang cukup berhasil, hingga di jadikan semacam "model" oleh negara sedang berkembang lainnya. Suksesnya pembangunan dalam bidang KB ini sempat sejalan dengan keberhasilan pembangunan sektor pertanian tanaman pangan. Meskipun dalam tahun-tahun tertentu impor beras tidak bisa dihindari.

KB untuk pertama kalinya dilaksanakan pada tahun 1970, khususnya di Jawa dan Bali. Sedangkan untuk luar Jawa dan Bali dimulai pada tahun 1974-1975, dan makin diintensifkan pada tahun 1979-1980. Sepuluh tahun sejak pelaksanaan KB dimulai, yakni pada tahun 1980, laju pertumbuhan penduduk masih sekitar 2,34 persen. Dengan angka pertumbuhan tersebut, tentu saja pelaksaan KB belum terhitung sukses, karena angka tersebut masih tergolong tinggi. Saat ini laju pertumbuhan penduduk sudah berada di bawah 1,5 persen per tahun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline