Lihat ke Halaman Asli

Badan Otorita Pembangunan Batas Negara RI – Malaysia di Kalimantan, Perlu Segera Dibentuk !

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1295007810143696804

Oleh : Atep Afia Hidayat -

Ada pepatah mengatakan, bahwa keledai tidak akan terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama. Bangsa Indonesia pernah terperosok, yaitu dengan kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tahun 2002 yang berubah status menjadi wilayah Negara Malaysia. Kemudian akankah terperosok lagi dengan kasus Ambalat yang mulai menghangat tahun 2005 atau kasus perbatasan lainnya? Mudah-mudahan tidak terjadi.

Kedua kasus tersebut menjadi pelajaran yang sangat penting bagi Bangsa Indonesia dan memberikan hikmah tersendiri. Kasus itu membuktikan bahwa cinta tanah air dan semangat nasionalisme bangsa Indonesia masih tinggi, sejengkal tanah dan air pun jangan sampai ada yang lepas.

Selain itu, muncul kesadaran dan komitmen yang lebih nyata dari pemerintah terhadap pembangunan sosial ekonomi, infrastruktur serta sistem pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan, meskipun dinilai sangat terlambat. Kasus tersebut secara tidak langsung telah merubah arah kebijakan pembangunan, yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward loking (Lembaga Administrasi Negara, 2006).

Sebagai langkah kongkret dari meningkatnya kepedulian terhadap keberadaan kawasan perbatasan, maka pemerintah perlu membentuk Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, khusus untuk pengelolaan kawasan perbatasan Indonesia dengan Malaysia misalnya dibentuk Badan Otorita Pembangunan Batas Negara RI - Malaysia di Kalimantan yang bertanggung jawab kepada Presiden RI. Di mana diusulkan seluruh wilayah sepanjang perbatasan RI dengan Malaysia di Kalimantan, sejauh 20 km dari garis perbatasan, merupakan daerah kerja Badan Otorita Pengelola Kawasan Perbatasan Kalimantan (Dephankam, 2007). Dengan demikian luas wilayah pengelolaan akan mencapai 2.004 km (panjang perbatasan, kira-kira 2,5 kali panjang Pulau Jawa) x 20 km, atau sekitar 40.040 km2, lebih luas dari wilayah Propinsi Kalimantan Selatan yang hanya 37.000 km2.

Tugas Badan Otorita antara lain: Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan sepanjang perbatasan RI dengan Malaysia sejauh 15 km dari garis perbatasan (border line), yang merupakan daerah kerja Badan Otorita sebagai sabuk pengaman; Mengembangkan dan mengendalikan semua kegiatan dalam pembangunan lini pengaman sebagai hutan lindung, cagar satwa dan jalan trans Kalimantan; Menyiapkan rencana induk (master plan) tata ruang pembangunan kawasan perbatasan, kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi prasarana dan fasilitas lainnya; Meneliti permohonan perizinan usaha yang diajukan oleh para pengusaha, yang berminat untuk melakukan investasi pembangunan di kawasan perbatasan, untuk diproses lebih lanjut ke instansi yang berwenang; Memberikan rasa aman dan menjamin agar tata perijinan yang diperlukan dalam usaha mendukung program pembangunan kawasan perbatasan dapat menimbulkan minat para pengusaha dan investor dalam menanamkan modalnya melalui konsorsium. Adapun semua biaya operasional Badan Otorita dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Selama ini penanganan masalah perbatasan dilakukan secara adhoc oleh berbagai instansi teknis yang berdeba sesuai dengan materi pokok permasalahannya. Pola penanganan tersebut membawa implikasi penanganan yang kurang terpadu dan kurang komprehensif. Sebagai gambaran, masalah demarkasi batas darat dan kerjasama perbatasan, termasuk penanganan yang timbul di perbatasan, dikoordinasikan oleh berbagai instansi seperti: General Border Committee (GBC) RI-Malaysia diketuai oleh Panglima TNI; Join Border Committee (JBC) RI-PNG diketuai oleh Menteri Dalam Negeri, dan sebagainya (Lembaga Administasi Negara, 2006).

Selain menyangkut pembentukan Badan Otorita yang menangani aspek perencanaan, pengembangan dan pengawasan kawasan perbatasan, baik dalam dimensi ekonomi, sosial, pemerintahan, maupun pertahanan dan keamanan, aspek strategis lain yang perlu diperhatikan dalam penataan kelembagaan pengelolaan kawasan perbatasan ialah: Penetapan dan pengaturan ulang mengenai batas-batas kewenangan baru antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten dalam pengelolaan wilayah perbatasan; Peningkatan anggaran, baik untuk pembangunan infrastruktur fisik, peningkatan kemampuan pertahanan, maupun berbagai stimulant ekonomi rakyat; Pengembangan kerjasama pembangunan dan pelayanan publik dengan negara tetangga, khususnya dengan pemerintah daerah yang berbatasan secara langsung; Peningkatan kapasitas kesisteman dalam bidang pertahanan dan keamanan, termasuk memperkuat personil dan armada dalam rangka patroli wilayah laut dan perbatasan darat.

Kondisi kawasan perbatasan tidak bersifat hitam-putih, tetapi lebih cenderung abu-abu. Di kawasan tersebut terjadi perpaduan dan pergesekan ideology, politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan. Kenyataannya, masyarakat yang bermukim di kawasan perbatasan, baik yang ada di sisi Indonesia maupun Malaysia, begitu pula di sisi Indonesia maupun Papua Nugini, dan di sisi Indonesia maupun Timor Leste adalah satu etnis yang sama, berbahasa sama, beradat-istiadat sama, beragama sama, hanya berbeda kewarganegaraan. Bahkan di antara mereka banyak yang terikat tali persudaraan. Bahkan di beberapa titik perbatasan, ada yang satu rumah berada pada posisi tapal batas, ruang depannya masuk Indonesia, sementara dapurnya masuk Negara lain.

Sebagai gambaran, perpaduan yang harmonis antara masyarakat dengan kewarganegaraan yang berbeda, terjadi di Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat yang langsung berhadapan dan melekat pada tapal batas dengan Sarawak (Malaysia Timur). Daerah perbatasan Entikong relatif lebih maju, ketimbang daerah perbatasan daratan lain yang ada di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Daerah Entikong sudah dilengkapi berbagai infrastruktur untuk mendukung tumbuhnya sebuah kota (Siburian, 2002).

Dengan demikian kebijakan yang ditempuh pemerintah harus arif dan bijaksana, mengingat di kawasan perbatasan telah terjadi akulturasi sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Seandainya terjadi kekeliruan dalam penanganan, baik karena penerapan regulasi yang terlalu ketat atau longgar, maka berbagai dampak seperti munculnya gerakan separatis bisa saja terjadi. Adanya kasus suku kurdi yang bermukim di kawasan selatan Turki dan utara Irak, yang menuntut pembentukan Negara Kurdistan, setidaknya menjadi bahan pelajaran yang sangat penting.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline