[caption id="attachment_316297" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas/Raditya Mahendra Yasa)"][/caption]
Oleh : Atep Afia Hidayat -
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2008, ternyata 110 dari 456 kabupaten/kota di Indonesia termasuk berkerawanan tinggi gunung api. Luar biasa, hampir 25 persen daerah kabupaten/kota di negara ini dalam situasi dan kondisi terancam aktifitas gunung api.
Sebagai gambaran erupsi eksplosif Gunung Merapi menimbulkan kerawanan di beberapa daerah seperti Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten (Jawa Tengah), serta Kabupaten Sleman di DIY Yogyakarta. Data sampai 4 November 2010 menunjukkan jumlah pengungsi di daerah-daerah tersebut sudah mencapai 105 ribu orang. Gunung Merapi merupakan satu dari 10 gunung berapi yang paling berbaya di dunia, selain bebrapa gunung seperti Vesuvius (Italia), Sakurajima (Jepang), Galeras (Kolumbia).
Gunung Merapi berbentuk kerucut terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan DI Yogyakarta Merapi memiliki ketinggian 2.914 meter di atas permukaan laut, memiliki panorama alam yang sangat mempesona, namun dibalik keelokannya itu ternyata merupakan gunung berapi yang paling aktif di Indonesia dan meletus secara berkala mulai tahun 1548. Letusan Merapi 4 November 2010 yang lalu, abunya dikabarkan mencapai Tasikmalaya, Cimahi, Pangalengan dan Bogor (Jawa Barat).
Gunung Merapi sudah aktif sejak 10.000 tahun yang lalu. Letusan Merapi umumnya melibatkan runtuhnya kubah lava yang terus mengalir ka bawah, sering disertai dengan turunya asap panas (wedhus Gembel) dengan kecepatan maksimum 120 km per jam. Beberapa desa di seputar kaki Merapi rawan terhadap tumpahan material dalam bentuk cair, padat dan gas.
Tragedi Merapi yang meluluh-lantahkan desa-desa di sekitarnya bisa terulang kapanpun dan dimanapun, terutama di 110 kabupaten/kota yang wilayahnya ditempati atau berdekatan gunung berapi. Seperti beberapa kabupaten/kota di Lampung bagian selatan dan Banten bagian barat, sangat rentan terhadap pengaruh letusan Gunung Krakatau. Sedangkan letusan Gunung Papandayan akan mengancam sebagian wilayah Kabupaten Bandung dan Garut.
Berdasarkan catatan Besatari (Kompas, 5 November 2010), ada 129 gunung berapi di Indonesia, tersebar di Sumatera (30), Jawa (34), Bali (2), Nusatenggara (28), Laut Banda (10), Sulawesi Utara (13), Sangihe (5), serta Halmahera dan sekitarnya (7).
Sebenarnya upaya menyikapi letusan gunung berapi sudah sering dibahas dalam berbagai kegiatan, misalnya dalam “Diskusi Letusan Gunung Sinabung” , 3 September 2010 di Jakarta. Dalam acara yang digelar Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) tersebut, Dr. Ir. Eko Teguh Paripurno, Kepala Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB), UPN Veteran Yogyakarta, menjelaskan bahwa letusan gunung berapi menimbulkan ancaman, seperti lava pijar, awan pijar, bom, pasir-abu, gas racun dan lahar. Ancaman yang berbeda akan membawa dampak yang berbeda serta akan membawa risiko yang berbeda pula. Selanjutnya risiko yang berbeda akan menimbulkan jawaban atau penanggulangan bencana yang akan berbeda. Misalkan saja ancaman awan pijar akan berbeda risikonya dengan ancaman pasir-abu. Ancaman awan pijar mengandung risiko kematian seketika dan upaya penanggulangannya adalah dengan evakuasi sejauh mungkin dari radius penyebaran awan pijar itu. Tapi ancaman pasir-abu membawa risiko Infeksi Saluran Pernafasan Aktif (ISPA) dan upaya penanggulangannya adalah dengan menggunakan masker.
Selanjutnya Eko mengemukakan, bahwa dengan adanya ancaman dari letusan gunung berapi tersebut tidak dapat dilakukan secara sama rata (generalisasi). Misalkan saja dalam kasus letusan Gunung Sinabung tidak dengan serta merta semua penduduk yang tinggal sejauh 6 KM dari pusat letusan diungsikan. Hal itu mesti dilakukan dengan melihat apa ancaman yang lebih spesifik dari letusan G. Sinabung, baru setelah jelas tipe ancaman dan risikonya maka upaya penanggulangan bencananya dapat lebih mudah untuk dilakukan. Pengungsian penduduk adalah salah satu jawaban dari banyak alternatif penanggulangan bencana letusan gunung berapi.
Menurut Eko, yang tidak kalah penting adalah memperhatikan aspek aset penghidupan, misalkan ternak, tanaman (di kebun, sawah, ladang), sumur, mata air, dll. Selama ini respon tanggap darurat lebih difokuskan kepada penyelamatan manusia, sedangkan aset penghidupan seringkali malah terabaikan, di luar manusia belum diurus. Jadi ketika para penduduk berada di pengungsian, mereka malah merasa tidak tenteram karena terus memikirkan rumah, tanaman dan ternaknya. Tidak heran bila di pengungsian hanya ramai pada malam hari, tapi pada pagi dan siang hari tempat pengungsian jadi sepi karena orang-orang kembali ke rumahnya masing-masing untuk mengurus rumah, ternak dan tanaman mereka. Sebagaimana dilansir dalam situs resmi MPBI (www.mpbi.org).