Lihat ke Halaman Asli

Aten Dhey

Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Tragedi Malam Berdarah

Diperbarui: 11 Oktober 2020   21:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas.com

Tengah malam yang pekik. Sirene berbunyi. Sesekali terdengar suara tawa. Beberapa pemuda duduk berpangku kaki. Mereka meneguk segelas arak di atas trotoar beralas koran. Sebuah buku kecil dan pena di tangan mereka. Sesekali mereka berbisik. Ada rahasia yang diramu pada malam gelap ini.

"Tunggu, ya. Bapak akan mencari sebungkus nasi," janji kamu pada anakmu yang menangis kelaparan.

Dua orang pemuda yang menikmati indahnya malam ini berteriak tak karuan. Sesekali kamu kaget ketika mereka melempar sebuah kantor pemerintah. 

Entahlah, sudah berapa ratus batu yang membentur dinding dan atap kantor itu. Hampir setiap malam gedung itu menjadi sasaran marah banyak orang. Sulit menebak maksud dari perbuatan mereka.

"Bu, nasi satu bungkus tanpa sambal, ya," ungkapmu sembari mengamati situasi sekitar.

Setelah membeli nasi itu, kamu kembali ke gubuk tua. Dari jauh kamu melihat beberapa pemuda berdiri di tengah jalan. Tangan mereka memegang pisau. Kamu tak bisa mencari jalan lain karena itulah satu-satunya jalan menuju rumah. 

Tampak sebuah mobil mewah berhenti di depan mereka. Seorang bapak berpakaian dinas turun dan berbicara dengan mereka. Di akhir pembicaraan mereka berjabat tangan.

Kamu mempercepat langkah kaki. Jantungmu bergetar dengan cepat. Kamu berlari kecil setelah melewati beberapa pemuda itu.

Dari kegelapan terdengar sebuah teriakan, "Hei! Tunggu! Berhenti di situ!"

Kamu mempercepat langkah. Dalam hati merasa tak acuh terhadap suara itu. Kamu mempercepat langkah.

"Kamu tuli, ya!" teriak seorang pemuda sembari memegang pundakmu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline