Buruh-buruh rusuh buru-buru. Iya saat demo mereka buru-buru membuat rusuh. Harus paham bahwa mereka berbuat rusuh bukan rusun, rumah susun, ya. Jangan salah kaprah. Kalau buruh-buruh dengan buru-buru membuat rumah susun untuk masyarakat miskin, hal ini harus diapresiasi.
Jangan dulu berterima kasih akan padanan kata yang indah ini. Indah belum tentu memesona. Cantik itu memikat namun bisa melukai. Ya, cantik itu luka. Padanan kata indah ini jika direfleksi lebih jauh sangat menyakitkan. Mengapa demikian? Aksi arogan yang dipaksa tanpa tujuan.
Lantas, siapa yang salah? Apakah dengan demikian semua kebenaran versi buruh-buruh akan tersingkap? Mengapa tidak memakai ruang diskusi untuk mencari fakta? Jangan buru-buru sebelum semuanya jelas. Diskusi dua arah antara pemerintah dan rakyat harus dilakukan.
Saya ingin membawa fakta buruh yang buru-buru berujung rusuh ke dalam cara pandang obyektif. Kaca mata anak-anak menjadi sumber yang paling polos tanpa basa-basi. Narasi seorang anak di badan jalan itu.
Katanya dia anak seorang buruh. Sejak beberapa hari yang lalu dia turun ke jalan mencari ayahnya yang sedang memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Suara di telinga anak itu sepi. Kesunyian ruang publik pasca demo kian hilang. Dia butuh instrumen musik bambu agar mencairkan sesuatu. Jalan menuju kampus dialihkan dan beberapa mahasiswa yang punya daya kritis harus mencari jalan lain.
Puing-puing halte menutupi ruas jalan. Beberapa motor yang dibakar tercecer di trotoar. Pecahan-pecahan kaca berhamburan. Besi, batu, kayu, dan petasan terlihat di pekarangan gedung pemerintah. Pagar-pagar dibengkokan. Kaca gedung hancur. Atapnya berlubang.
Ban yang dibakar masih menyisahkan sedikit asap. Baunya menusuk hidung. Pedagang-pedagang kecil membersihkan tempat jualan. Toko-toko di sekitar tempat demo dicoret-coret. Vandalis terlihat di tembok-tembok jalanan.
Petugas pembersih kota datang berseragam orange. Mereka menyusur dari ujung jalan ke jalan lain. Tampak beberapa pemulung datang dengan gerobak dan karung. Mereka mencari barang-barang yang bisa dijual.
Seorang bocah tak menemukan ayahnya selepas demo kemarin. Menangis dengan isakan yang terpatah-patah. Berdiri di badan jalan. Dia menatap taman bermain yang telah hancur akibat ulah pendemo, termasuk ayah dan kakaknya.
Airmata menganak sungai. Dia tak tahu harus bermain dengan siapa dan di tempat mana. Tangannya mengepal. Wajahnya kesal dan marah. Dia terpukul karena aksi yang membabi buta.