Lihat ke Halaman Asli

Aten Dhey

Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Rasa yang Terlalu Ego

Diperbarui: 3 Juni 2019   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Mengapa aku harus mengejar mentari jika bulan selalu bersinar dalam gelapku. Di siang hari seribu bocah berlari. Tetesan keringat membasah di sekujur tubuh. Mereka beramai-ramai merebut sang mahkota siang. Sedangkan engkau diam-diam mencintaiku. Aku terlalu hina jika menepuk sinar bola malammu. 

Wahai hari katakan pada budak mentarimu kalau aku tak butuh dia lagi. Aku terlalu hina jika harus mencintai dia yang tak mencintaiku. Terlalu banyak puisi yang sia-sia kubuatkan untuknya. Akan kubalik semu bait indah untuknya dan kubacakan pada rembulan di malam gelapku.

Wahai mentari sangkamu aku sang penjilat cinta sehingga engkau tak pernah membiarkan senja hilang di bilik sore. Jika engkau mau telanjangkanlah seluruh rasamu buktikan kalau engkau tersiksa saat harapmu tak pernah berlangkah. Ada malu saat aku selalu benar di matanya namun salah di matamu.

Engkau boleh merasa terberkati saat kejujuran menyelubungi hatimu. Saat itu aku tahu bahwa engkau terlalu ego untuk sebuah rasa. Jika tak mau menggengang rasa yang terucap biarkan dia terbang ke spasi malam yang selalu menantiku. Jangan menarik sebagian cinta yang akan kuberikan pada malam. Ingat malam tak tahu apa-apa tentang engkau dan aku. 

Mentari kutitip pesan padamu semoga engkau selalu bersinar di siang hari. Berbahagialah bersama terang di antara bocah-bocah penjilat cinta. Tersenyumlah saat mentari terus meninggi. Ingat ada musim gelap yang dinamakan hujan. Semoga bahagiamu terjaga saat tetesan air hujan menembus sinarmu. 

Maafkan aku jika aku tak mampu datang dalam rintihan rindumu. Aku akan menjaga malamku di istana hati yang kubangun dengan ketulusan. Aku tak mungkin masuk dalam siangmu saat pintu senja engkau tutup rapat-rapat. Jangan berharap rasa yang terungkap malam tadi masih ada untukmu. 

Kubalas keegoisan rasamu dengan mengundang rembulanku. Saat itu engkau 'kan tahu betapa sebuah rasa tak harus dipaksakan. Maaf. malam telah menjadi rumahku. Tak ada kata pamit untuk pergi. Aku hanya butuh kesadaranmu untuk meninggalkanmu. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline