Lihat ke Halaman Asli

Aten Dhey

Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Puasa di Flores dan Gadis Berjilbabku

Diperbarui: 8 Mei 2019   22:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pixabay.com

Suara adzan menghiasi langit cerah sore ini. Dari empat penjuru mata angin, doa saudara-saudara muslim membahana. Ungkapan hati, harapan dan cinta terdengar dari suara doa yang kudus. Selang beberapa menit dari empat penjuru mata angin yang sama, ceramah-ceramah diperdengarkan. Seruan kebersamaan, wejangan puasa dan amal bhakti menuntun setiap umat masuk ke dalam diri. Sebentar lagi mereka akan berbuka puasa bersama. Inilah momen berahmat yang sedang mereka jalani.

"Ten, sedang apa kamu?" sapa Mustofah.

"Eh, Mustofah. Aku sedang mendengar ceramah di sore ini," jawab aku sedikit membenarkan kursi.

"Aku pinjam kamar mandinya, ya?" Mustofah meneruskan.

"Ah, kamu ini. Masuk aja. Kamar mandinya sebelah kanan. Kamu masuk lalu ke kiri. Kamar mandinya tepat di sebelah kiri," jelasku sambil mengarahkan pandangannya.

"Oke. Makasih ya, Ten," dia menimpali.

Ceramah yang begitu indah menenangkan hatiku. Aku terus menyimak setiap kata yang disampaikan. Satu kata yang kudengar soal agama Islam itu agama damai. Kalimat ini membuka ruang refleksiku. Selama ini banyak orang selalu mengaitkan aksi teroris dengan agama Islam. Namun, dari berbagai ceramah, seminar, dan dialog antar agama, aku tahu Islam itu agama damai. Tidak hanya itu, semua agama selalu mengajarkan hal baik.

Selang beberapa menit Mustofah datang mendekatiku. Dia membereskan sarung dan pecinya.

"Kamu udah sholat, ya Mustofah?" tanyaku.

"Ya, sebentar Ten. Aku masih menunggu Iksan. Dia sedang siap-siap di rumah," terang Mustofah.

"Nanti kalau udah buka, hubungi aku ya," pintaku memohon.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline