Lihat ke Halaman Asli

Aten Dhey

Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Telaga Rindu di Bukit Toloroja

Diperbarui: 27 April 2019   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Yohanes Delfino

Di bukit Toloroja saksi bisu kenangan itu. Bersama sang waktu berjalan di atas mimpi. Katanya di sana ada impian dari kepala sang pembuat cerdas. Sejuta langkah menembus lorong cinta.
Menaiki cakrawala alam yang terus memberi kenyamanan. Pagi tak kunjung pergi saat ijazah belum kuraih. Dari tangan penjajah cinta ada bingkisan indah masa depan.
Mereka menggumuli kulit penuh keringat yang membanjir. Bersama kalian aku terbang. Menuju alam liar nan jinak. Ada banyak setapak menuju pintu kelas di Toloroja.
Aku selalu mengapeli semuanya karena di sana namaku terukir. Setapak selatan tempat guru-guruku berpijak. Setapak utara tempat kami bermain cinta-cintaan. Setapak tengah katanya tempat guru melempar kasih. Memanggil kawan yang belum bermain di kelas pengetahuan. Datanglah. Masuklah. Kelas masa depan menantimu. Indah sekali kenangan itu di bukit Toloroja. Tahukah kalian di bukit itu aku pertama kali jatuh cinta. Hati deg-deg saat menantap dia di depan jalan. Cantiknya membisukan.
Tak ada kata yang terukir hanya hati yang memuji. Selain cinta bencipun tercipta. Saat tersakiti bukit itu tak menjadi sahabat. Ada air mata. Semua karena cinta tak segampang dan semurah menawar hidup pada penjual di pasar. Tak ada hujan, air menetes. Tak ada api, panas membara. Tak ada angin, sejuk menepi. Tak ada suara, hati yang berbicara.
Toloroja kini menjadi bukti telanjang yang memberi cinta tanpa kata-kata. Hujan datang semua menghijau. Panas datang semua mengering. Cinta datang semua bahagia. Indah telaga rindu di Toloroja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline