Di bukit Melung. Dingin. Sepi. Tenang. Alam yang begitu indah. Kudus dan memberi ketenangan batin. Berbagai rasa aku miliki saat meninggalkan kamar berbentuk gua. Sekamar denganku ada dia. Ketika aku sadar dia terlelap dalam mimpi malam. Aku harus pergi meninggalkan dia seorang diri. Kutarik gagang pintu perlahan-lahan. Harapku bunyi pintu tidak mengganggu tidurnya.
"Mungkin ini saat terakhirku melihatnya," ujarku dalam hati.
Aku berlangkah dalam rasa yang begitu menggebu-gebu. Bunyi jengkrik menyambut hadirku. Sesekali aku mendengar burung hantu berbunyi. Seram dan sungguh menggelitik hatiku. Aku mencoba berlangkah lebih cepat.
"Aku harus cepat. Jika tidak aku pasti gagal malam ini," seruku di saat malam semakin gelap.
Kulihat suasana semakin hening. Mistis dan kudus tempat ini. Aku seperti kembali ke saat Yesus terbaring dalam kubur. Tak ada suara manusia. Alam pun sesekali bergumam. Aku mengerti tempat itu kudus dan suara pun tak sembarang berbunyi.
Di taman itu cahaya remang-remang mengaburkan arah pandangku. Kutatap sembilan lampu taman berjarak empat langkah kaki. Dua tiang berbentuk balok sedikit membuatku tertunduk. Tiang itu sengaja dibuat agar aku sedikit tunduk. Mengapa? Memang tiang itu sengaja dibuat agar aku harus tunduk. Aku tak tahu mengapa hal itu sengaja dibuat? Pertanyaan itu semakin membuatku mati penasaran.
"Di tempat sepi dan gelap seperti ini masih ada sesuatu yang membuat setiap orang harus tunduk. Apa sebenarnya tempat ini?", aku tambah penasaran.
Setelah berlangkah beberapa langkah aku terkejut. Sebuah benda dibungkus dalam gelap. Aku tak tahu apa sebenarnya benda misterius itu. Aku semakin terbawa dalam ketakutan. Tanganku sedikit meraba sebuah bangku tua yang diletakkan di depan benda itu. Tanganku berdarah setelah menyentuh unjung sebuah paku. Goresan paku itu tidak mengurangi rasa takutku. Aku mengisap darah di jari telunjukku. Darah itu hangat. Kuisap darah itu hingga tak lagi mengalir. Mataku terus terarah pada benda di depanku yang menyita semua perhatianku sejak memasuki tempat ini.
"Apa benar kisah yang dituturkan bapak itu? Apa benar ada keajaiban di tempat ini? Apakah itu hanyalah sebuah halusinasi manusia? Tuhan. Apakah benar Dia ada di tempat seperti ini? Mengapa bapak itu harus meninggalkan semua keluarganya untuk tinggal di tempat ini?" aku bergulat dalam tanya.
Bapak itu sungguh hebat. Dia merasakan suara Tuhan dalam hidup kontemplatif di tempat ini. Tuhan menyentuh dalam hening. Rambutnya yang panjang mirip dengan Yesus, seorang pemuda Nasaret yang hidup 2000 tahun lalu. Sesekali bapak itu berapi-api berkisah tentang pengalaman iman bertemu dengan pemuda tampan di kala hening merasuki jiwanya. Perawakannya yang mulai dibaluti kulit yang keriput membenarkan kesaksian imannya. Dia datang dari keuarga kaya dan hanya ingin tinggal di hutan. Semuanya hanya demi satu misi bertemu dengan Yesus yang memberi ketenangan batin dan jiwa.
Suara alam semakin sunyi. Waktu kira-kira pukul 00.00. Aku baru sadar dalam keheningan yang mendalam. Aku telah menghabiskan waktu dua jam di tempat ini. Apakah benar? Apa yang menghipnotisku? Aku kaget saat benda di depanku tampak jelas dan bercahaya terang. Tidak ada lampu yang memberi cahaya. Aku sendiri di tempat itu. Seorang pun tak berani datang di tempat ini.