Lihat ke Halaman Asli

Aten Dhey

Senyum adalah Literasi Tak Berpena

Temani Aku Menanti Nahkoda Hati

Diperbarui: 18 Januari 2019   00:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Senyap, senduh dan sepi mengitari keindahan itu. Tampak sebuah perahu tanpa nahkoda berdiam tak bersuara. Bayang-bayang malam merekah, membela beningnya langit biru. Oase kehidupan terus mengeluarkan kesegaran. Di atas batang tak berdaun burung pipit mengepakkan sayap, mencari sahabat yang katanya siap bermain dan menghibur.
 
Suara rumah ibadah menambah kesakralan wahana indah wisata hati. Tak seperti biasanya suara mencekam bercengkrama bersama dinginnya angin malam. Api cahaya bola malam seolah tak berkutik di depan perkasanya bintang kegelapan.
 
Sekian laksa aku menanti dalam menit-menit kegelisahan tapi yang lahir hanyalah sebuah kegundahan. Angin malam meriak bak jengkrik berbunyi menggugah rasa di hati. Dia seolah berbicara padaku agar tak selalu mengharapkan sebuah kepastian yang tak pasti. "Sia-sia bagimu memikirkan semua ini", ejeknya di sela otak tak bekerja. Aku terbawa rayuan gombalnya. Kudepak percikan cahaya bola taman tuk menembus panorama indah di depanku.
 
Dalam gelapnya malam kususuri cahayanya yang mengelabui mata. Aku tak tahu mengapa hati ini malu tersipu-sipu oleh senyum indahnya. Kucoba menemukan arti terdalam dari senyumannya. Dia cantik dan jelita. Aku mengakui realitas itu.
 
Hatiku tergerak untuk berada di dekatnya. Namun seribu satu alasan seolah mencabik dan merobek hati ini. Kutitip salam lewat air yang mengalir karena kutahu mereka selalu berada di dekatnya. Dia tak mengerti dan belum juga mengerti. Kuputuskan untuk menghampirinya hingga kegelisahan takut berdiam dalam hatiku. Aku ingin dia mengerti maksudku. Telah sekian lama aku berjibaku dengan rasa malu akhirnya dia mengerti dan mengenal semua maksudku. Dia rela memberi tempat dalam dirinya untukku. Aku bahagia. Namun aku tak bisa berada dan berdiam selamanya.
 
Dunianya dan duniaku sungguh berbeda. Aku harus berlabuh di perahu indah kehidupanku yang telah kuarungi selama ini. Dia sedang menanti nahkoda baru atau lama yang bisa menemaninya menjelajahi luasnya kehidupan ini. Hati kecilku berbisik tuk segera kembali mendayung di perahu kehidupanku sendiri. Aku tak mungkin menjadi nahkoda hatinya.
 
Suara adzan mengagetkan lamunanku. Aku harus kembali ke rumah-Nya yang telah menyulam kehidupanku dalam darah dan daging. Aku ingin bernyanyi memuji Dia yang telah menciptakan rasa dan cinta di hatiku. Satu doaku semoga dia tetap berjalan dan mendapat nahkoda kehidupan yang mampu berjalan bersamanya ke pelosok indah tembok-
tembok surgawi. 

Puisi Berikutnya: 'Hari Ini Kuingat Kemarin'

Yogyakarta 17 Januari 2019 - 23.49

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline