Lihat ke Halaman Asli

Ataya Sela Callista

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Dinamika Koalisi dan Oposisi: Menjelang Kontestasi Pemilihan Presiden Tahun 2024

Diperbarui: 19 Desember 2024   10:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Koalisi di Indonesia menjadi sebuah isu yang hangat diperbincangkan dan masif muncul, menjelang kontestasi pemilihan umum khususnya pemilihan presiden. Berdasarkan KBBI, koalisi adalah kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara dalam parlemen. Menurut Andrew Heywood, koalisi adalah penggabungan sekelompok partai politik yang berkompetisi, secara bersama-sama memiliki persepsi tentang kepentingan, atau dalam menghadapi ancaman serta dalam penggalangan energi kolektif. Pengikatan koalisi dilakukan para aktor dengan tawar menawar menciptakan berbagai kemungkinan kontrak politik tentang bagaimana bentuk koalisi maupun pemutusan kerja sama. Hakikat koalisi itu sendiri adalah membentuk pemerintah yang kuat (strong government), mandiri (autonomous), dan tahan lama (durable). Untuk itu dalam sistem pemerintahan yang multi partai, koalisi adalah suatu keniscayaan untuk membentuj pemerintahan yang kuat, mandiri dan tahan lama namun sering kali koalisi yang dibangun mebingungkan.Kompleksnya kekuatan politik, actor dan ideology menjadi faktor yang menyulitkan. Secara teoritis, koalisi partai hanya akan berjalan bila dibangun dengan landasan pemikiran yang realistis dan layak. Koalisi partai politik dalam pengajuan pasangan calon Presiden /wakil Presiden merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, tidak terdapat satupun partai politik yang memperoleh suara mayoritas sehingga membutuhkan dukungan partai lain supaya memenuhi angka presidential threshold. Namun, koalisi partai politik yang terjadi tidak didasarkan kepada kesamaan visi, misi dan ideologi partai. Koalisi partai politik didasarkan pada situasi dan kondisi politik yang berkembang serta power sharing atau bagi-bagi kursi menteri. Akibatnya, komposisi koalisi partai politik dalam tiap pemilihan Presiden berubah-rubah. Hal ini tentu merupakan pola koalisi yang hanya berorientasi pada pragmatisme semata. Partai politik membangun koalisi atas dasar berapa kursi menteri atau yang dijanjikan oleh pasangan calon Presiden /wakil Presiden yang akan diusung atau dengan kata lain politik transaksional. Partai politik yang sebelumnya merupakan rival (dari pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang memenangi pemilihan) dapat mengalihkan posisi dukunganya kepada pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang terpilih. Padahal koalisi permanen sangatlah dibutuhkan untuk menjamin terjadinya check and balance terhadap pemenang Pemilu (penguasa). Artinya, komposisi partai politik pendukung pasangan capres dan cawapres yang kalah harus siap menjadi partai di barisan oposisi bukan berpindah mejadi partai koalisi pemerintah. Koalisi tidak dapat dipungkiri adalah wujud dari pertarungan partai politik di Indonesia. koalisi partai politik di Indonesia diatur dalam Pasal 6A ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa terdapat ruang untuk mengadakan koalisi partai politik sebagai peserta pemilu. Serta dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terdapat syarat minimal dukungan untuk mengajukan calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Kini menjelang pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum, formasi dari koalisi rentan mengalami perubahan karena disparitas kepentingan dan political bargaining yang terjadi dan partai politik sedang mencari koalisi yang solid dan bisa memberikan hal yang konkret dalam mengarungi kontestasi Pemilihan Umum Tahun 2024.

 Analisis Kasus  

1. Teori Koalisi dan Oposisi  

Menurut Andrew Heywood, Koalisi adalah penggabungan kelompok partai politik yang berkompetisi secara Bersama sama memiliki persepsi tentang kepentingan, atau dalam menghadapi ancaman serta dalam penggalangan energi kolektif. Koalisi juga dapat diartikan sebagai bentuk persetujuan secara formal yang memiliki kontrak bersama di antara dua partai politik atau lebih, guna menjamin kekuasaan pemerintah atas dasar adanya suara dari mayoritas. Motif koalisi yang hadir adalah terkait elektoral dan ideologi. Secara umum, koalisi yang ada, seperti Koalisi Perubahan, Koalisi Indonesia Bersatu, dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya bermotifkan kepentingan pemenuhan administrasi Presidential Threshold 20%, walaupun pada beberapa kasus, Koalisi Perubahan dapat menjadi sebuah koalisi ideologi karena dalam beberapa konteks mereka berusaha menjual gagasan "perubahan" sebagai bentuk perlawanan dari status quo yang ada atau menjadi simbol antitesa dari mereka yang ada di tampuk kekuasaan. Sifat koalisi yang hadir menjelang kontestasi pemilihan presiden 2024 adalah koalisi yang bersifat taktis bukan pada koalisi yang bersifat strategis. Koalisi bersifat taktis adalah koalisi yang terbentuk karena tujuan yang lebih pragmatis dibandingkan dengan kesamaan ideologi maupun visi dan misi. Misalnya, untuk kepentingan elektoral atau mendapatkan kursi di kabinet. Koalisi ini tercerminkan pada sifat koalisi-koalisi yang ada saat ini, mulai dari Koalisi Indonesia Bersatu, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya, dan Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Jika mengacu pada Andrew Heywood (2000: 195) Arena dalam koalisi partai, terdiri dari empat arena, yakni: (1) Koalisi Elektoral, (2) Koalisi Legislatif, (3) Koalisi Pemerintahan, dan (4) Koalisi Besar atau Pemerintahan Nasional. Mengacu pada hal tersebut, arena yang terjadi pada koalisi menjelang kontestasi pemilihan presiden 2024 adalah arena koalisi electoral.

2. Pendekatan Rational Choice (Pilihan Rasional)

Variabel ekonomi menjadi epicentrum dari rational choice yang hadir pada pembentukan koalisi. Koalisi hadir tidak hanya semata-mata pengejaran terhadap presidential threshold 20% yang ada namun jauh lebih daripada itu ada pertimbangan untung dan rugi yang sudah dipikirkan oleh partai politik untuk bisa mereka tentukan dengan siapa mereka akan berkoalisi. Dikatakan bahwa Manusia Politik (Homo Politicus) sudah menuju ke arah Manusia Ekonomi (Homo Economicus) karena melihat adanya kaitan erat antara faktor politik dan ekonomi, terutama dalam penentuan hal yang berkaitan dengan dirinya, seperti kebijakan, dan sebagainya. Sebagai makhluk rasional ia selalu mempunyai tujuan-tujuan (goal-seeking atau goal-oriented) yang mencerminkan apa yang dianggapnya kepentingan diri sendiri. Ia melakukan hal itu dalam situasi terbatasnya sumber daya (resource restraint), dan karena itu ia perlu membuat pilihan. Untuk menetapkan sikap dan tindakan yang efisien ia harus memilih antara beberapa alternatif dan menentukan alternatif mana yang akan membawa keuntungan dan kegunaan yang paling maksimal baginya. Ini tercerminkan bagaimana elit PPP meninggalkan Koalisi Indonesia Bersatu dan bergabung dengan gerbong Ganjar yang menurut hitung-hitungan mereka justru lebih memberikan keuntungan yang maksimal dan persentase kemenangan yang lebih tinggi. Koalisi Perubahan antara Nasdem, PKS, dan Demokrat dalam mengusung Anies Baswedan pun berdasarkan pertimbangan rasional, bagaimana elektabilitas signifikan Anies Baswedan yang dibuktikan oleh banyak survey, sehingga mereka berani mengusung  Anies Baswedan. Pencapresan Ganjar oleh PDIP juga merupakan strategi yang berdasarkan pertimbangan rasional dibanding mereka harus mengusung Puan Maharani yang berdasarkan survey elektabilitasnya selalu menempati posisi "buncit". Atau jika kita bergeser pada Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya, yang dimana Prabowo Subianto tidak kunjung mendeklarasikan Muhaimin Iskandar sebagai cawapres beliau karena pertimbangan rasional Prabowo yang secara kalkulasi berdasarkan survei, Muhaimin Iskandar masih kurang memberikan kemenangan yang maksimal terhadap Prabowo, dan bagaimana Muhaimin Iskandar ini tidak bisa merepresentasikan NU secara keseluruhan karena adanya konflik dengan elit NU lainnya.

3. Teori Konflik

Motif koalisi yang hadir dapat kita telisik berdasarkan orientasi elektoral dan ideologi. Masing-masing anggota koalisi berpatokan pada bagaimana mereka mendapatkan keuntungan dan dapat menundukkan pesaingnya. Contoh yang paling konkret dari konflik yang hadir pada koalisi adalah bagaimana mereka saling menjatuhkan demi tujuan atau kepentingan tertentu. Disparitas kepentingan inilah yang menjadi sumber konflik. Kasus yang paling konkret adalah bagaimana koalisi pendukung Ganjar berusaha melakukan beberapa indikasi penjegalan terhadap bakal calon presiden dari koalisi lain yang kemungkinan mempunyai kepentingan yang berbeda karena membawa argumentasi perubahan, atau Koalisi Indonesia Bersatu antara Golkar, PAN, dan PPP, yang akhirnya koalisi ini ditinggalkan oleh PPP karena tawar-menawar di dalam koalisi yang terkesan alot. Konflik yang terjadi antarkoalisi ini masuk pada konflik horizontal karena kedudukan yang setara antarkoalisi, namun daripada itu ada konflik vertical yang terjadi karena beberapa partai di koalisi mempunyai akses kekuasaan yang lebih sehingga mereka bisa solid dalam berkonflik dan menekan pihak yang berada di subordinasi mereka. Atau bagaimana kita melihat konflik tuntutan antara anggota Koalisi Perubahan terkait tawar-menawar posisi cawapres, terlihat jelas bagaimana Demokrat memberikan ultimatum dan akan mengevaluasi dukungannya kepada Anies Baswedan yang tak kunjung menentukan dan mengumumkan cawapresnya. Dari banyaknya konflik yang terjadi antara internal koalisi atau antar-koalisi telah tergambarkan secara jelas dari teori-teori penyebab konflik, khususnya Teori Negosiasi Prinsip, teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena posisi-posisi para pihak yang tidak sejalan dan adanya perbedaan-perbedaan di antara para pihak. Berdasarkan konsep konflik politik, perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan dan perebutan dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan nilai-nilai atau pandangan disebut konflik. Oleh karena itu menurut pandangan konflik, secara fundamental politik adalah konflik. Dalam perspektif ini konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat, termasuk dalam proses politik, dalam kasus ini yakni koalisi menjelang kontestasi pemilihan presiden tahun 2024. Selain itu, konflik merupakan gejala yang melekat dalam setiap proses politik.

4. Teori Elite                                                                                                                   

Menurut teori elit, keputusan politik tidak sepenuhnya merupakan hasil dari partisipasi demokratis yang merata, tetapi lebih cenderung dipengaruhi oleh kelompok-kelompok elit yang memiliki kemampuan dan sumber daya yang lebih besar. Elit-elit ini dapat berasal dari berbagai latar belakang, seperti politisi, pejabat pemerintahan, bisnis, atau kelompok kepentingan khusus. Jika mengacu pada Pareto sendiri yang lebih lebih memusatkan perhatiannya pada elit yang memeritah, yang menurut dia, berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan, yang dilihatnya sebagai hal yang sangat penting. Jika kita mengacu pada teori di atas maka sudah cukup jelas bahwa terbentuknya formasi koalisi akan dipengaruhi oleh mereka yang menjadi elit partai politik. Sebagai contoh bagaimana akar rumput PPP yang secara dukungan cukup signifikan mengusung Anies Baswedan bahkan baliho dukungan tersebut sudah banyak berseliweran, namun apa jadi keputusan politik selalu berada di tangan elit, demokrasi di internal partai hanya bersifat elitis bukan partisipatoris, sehingga hasilnya mereka harus sepakat dengan kelompok elit partai mereka yang merapat pada gerbong Ganjar Pranowo. Gejala Oligarki sudah menyusup pada elit-elit partai politik yang ada. Oligarki merupakan mekanisme pemusatan kekuasaan pada segelintir elit berkuasa yang menekankan pada kekuatan sumber daya material (kekayaan) sebagai basis mempertahankan kekuasaan sekaligus kekayaan pada diri elit. Jika diamati pada dasarnya sebagian besar dari mereka yang kemungkinan mendapatkan tiket capres adalah mereka yang sudah malang melintang di perpolitikan di Indonesia, mereka yang punya relasi kuat dengan lingkaran oligarki, dan mempunyai modal yang solid. Bahkan dari daftar bakal calon tersebut, ada yang merupakan bagian dari oligarki, contohnya Prabowo Subianto. Jika kita mengacu pada pendapat Pareto sendiri yang lebih memusatkan perhatiannya pada elit yang memeritah, yang menurut dia, berkuasa karena bisa menggabungkan kekuasaan dan kelicikan, yang dilihatnya sebagai hal yang sangat penting. Maka hal tersebut bisa dianalisis bagaimana indikasi penjegalan terhadap bacapres lain merupakan strategi elit untuk bisa menjegal bacapres yang akan mengganggu kekuasaannya. Ini merefleksikan kelicikan itu menjadi hal yang beriringan atau koheren dari kekuasaan yang berada di tangan elit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline