Lihat ke Halaman Asli

Ataya Sela Callista

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Analisis Problematika Pengangkatan Penjabat (Pj) Kepala Daerah

Diperbarui: 18 Desember 2024   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

  • LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam keberlanjutan roda pelaksanaan organisasi kenegaraan, pengisian jabatan publik (staatsorganen, staatsambten) ialah suatu unsur vital. Tanpa diisi dengan pejabat (amsbtsdrager), fungsi-fungsi jabatan negara sangat mustahil untuk dijalankan sebagaimana mestinya. Peran pejabat negara begitu vital dan strategis dalam tanggung jawabnya untuk memastikan berjalannya penyelenggaraan pemerintahan, apabila terjadi kekosongan jabatan negara tersebut implikasinya adalah stagnasi pemerintahan atau bahkan kemunduran. Penundaan salah satu pesta demokrasi rakyat yakni pemilihan kepala daerah pada tahun 2022 dan tahun 2023, akan menyebabkan terjadinya kekosongan-kekosongan jabatan kepala daerah, seperti gubernur, bupati, dan walikota. Penundaan tersebut terjadi berdasarkan ayat (1) pasal 167 UU Nomor 7 Tahun 2017 dan ayat (8) pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016 yang pada asasnya mengatur bahwa Pemilihan umum dan Pemilihan (Pilkada) serentak nasional akan dilaksanakan pada tahun 2024. Sekitar 271 kepala daerah akan habis masa jabatannya dalam kurun periode 2022-2023 yang dimana rinciannya terdiri dari 24 gubernur, 56 walikota, dan 191 bupati. Untuk menghadapi kekosongan-kekosongan kekuasaan atau jabatan-jabatan negara (vacuum of power) di daerah, terdapat beberap mekanisme yang bisa dilakukan untuk mengisi jabatan-jabatan negara tersebut, khusunya kepala daerah yakni melalui penunjukkan pelaksana harian (Plh), pelaksana tugas (Plt), penjabat sementara (Pjs) dan penjabat (Pj) kepala daerah. Cara-cara tersebut mempunyai dasar hukumnya masing- masing, namun jika kekosongan itu terjadi karena kekosongan jabatan daerah akibat penundaan karena pemilihan serentak nasional pada tahun 2024, maka mekanismenya melalui penunjukkan penjabat (Pj) kepala daerah yang sudah diatur pada ayat (9), (10), dan (11) Pasal 201 UU No. 10 Tahun 2016.

Penunjukkan atau pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah menjadi salah satu problematika tersendiri dari kebijakan pemerintah. Begitu banyak kritik dan reaksi yang kurang baik datang dari kalangan akademisi dan masyarakat umum terkait pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah. Pengangkatan tersebut adalah cerminan dari terjadinya degradasi politik dalam sistem demokrasi yang negara kita anut. Bagaimana tidak disebut problematik, partisipasi yang menjadi salah satu prinsip penting dan fundamental dari penyelenggaraan negara demokrasi justru diterabas begitu saja, partisipasi DPRD maupun masyarakat daerah sama sekali tidak dilibatkan dalam setiap proses tahapannya. Padahal jika kita mengacu definisi demokrasi menurut Presiden Amerika Serikat ke-16, yakni Abraham Lincoln, beliau berpendapat bahwa demokrasi ialah pemerintahan yang bersumber dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Atau jika kita mau mengacu pada konstitusi Indonesia yakni UUD NRI 1945 di Pasal 1 ayat (2) yang secara jelas berbunyi bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan seterusnya. Dengan tidak dihadirkannya partisipasi ini jelas mengeliminasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Bahkan tertutupnya ruang partisipasi ini sudah tergambarkan dalam ayat (7) Pasal 174 UU No. 10 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa Presiden mengangkat penjabat gubernur dan Menteri Dalam Negeri mengangkat penjabat bupati/walikota. Berdasarkan ketentuan dari UU tersebut, bahwa penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah merupakan hak prerogratif yang dimiliki oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri. Regulasi tersebut sama sekali tidak mensyaratkan hadirnya partisipasi dari masyarakat daerah untuk dapat turut mengawal proses penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah, sehingga masyarakat daerah selaku pemegang kedaulatan daerah terabaikan. Padahal penentuan kepala daerah di suatu daerah menjadi proses yang penting karena rakyat yang seharusnya menentukan siapa pemimpin yang kompeten dan terbaik untuk memimpin daerahnya dengan segala permasalahannya. Dan penentuan kepala daerah sangat penting karena akan berimplikasi pada kebijakan dan regulasi yang akan berdampak pada masyarakat suatu daerah secara serta merta.

Problematika pengangkatan penjabat kepala daerah tidak berhenti pada hal di atas saja, banyak akademisi dan masyarakat umum yang berasumsi bahwa pengangkatan ini terkesan sangat politis, menempatkan orang-orang untuk mengukuhkan dominasi pemerintah pusat dan mengamankan aset-aset strategis di daerah yang sangat berlimpah. Jika memang ini salah satu motifnya jelas melanggar asas desentralisasi dan otonomi daerah. Atau jika kita mencoba studi kasus pada wilayah Provinsi DKI Jakarta, banyak yang mengasumsikan bahwa pengangkatan Pj Gubernur, Heru Budi Hartono adalah sebagai aktor untuk memukul lawan politik pemerintah pusat bahkan kebijakan-kebijakan yang dijalankan Pj Gubernur DKI yang secara basis legitimasi perlu dipertanyakan namun justru berusaha untuk menghilangkan political legacy dari pemimpin sebelumnya yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat DKI pada Pilkada DKI 2017. Tidak heran jika banyak masyarakat yang bertanya-tanya sejauhmana kewenangan penjabat (Pj) kepala daerah dengan krisisnya legitimasi yang hadir. Jadi apakah benar bahwa pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah ini murni untuk mengisi kekosongan kekuasan (vacuum of power) yang terjadi di daerah-daerah atau justru ada kepentingan lain yang ikut dalam pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah tersebut.

  • ANALISIS 

Apabila kita coba analisa pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah. Maka yang perlu kita kritisi bagaimana kedaulatan itu benar-benar diberikan kepada rakyat, jika kedaulatan itu diberikan sudah tentu partisipasi akan hadir. Sebagaimana definisi David Betham dan Kevin Boyle terkait demokrasi adalah bagaimana dalam pengambilan keputusan itu hadir persamaan hak (equality) namun justru yang hadir pada kasus pengangkatan Pj kepala daerah adalah adanya ketimpangan hak sehingga ada anggota kelompok (masyarakat di sebuah daerah) yang tidak mendapatkan haknya untuk ikut mengambil keputusan. Jika menyentuh pada hal esensial dari definisi David dan Kevin, khususnya poin kedua terkait sejauh mana prinsip kendali rakyat dan bagaimana partisipasi rakyat dapat semakin nyata dalam mewujudkan pembuatan keputusan secara kolektif, maka mekanisme penunjukkan atau pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah jelas minim sekali bahkan dalam Pasal 174 ayat (7) UU No. 10 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa Presiden mengangkat penjabat gubernur dan Menteri Dalam Negeri mengangkat penjabat bupati/walikota. Tidak ada klausul terkait bagaimana seharusnya masyarakat dapat ikut serta dalam pengangkatan Pj tersebut, jadi jelas prinsip kendali rakyat dihilangkan.

Pengangkatan Pj kepala daerah merupakan suatu mekanisme yang jauh dari kesan demokratis, penunjukkan itu terkesan ugal-ugalan tidak ada rambu-rambu untuk bisa menjadi pemandu dari pemerintah. Kasus pengangkatan ini dalam kacamata demokrasi prosedural dan deliberatif jelas tidak bisa dibenarkan. Prosedural yang menghendaki adanya kontestasi pemilihan umum dapat menduduki jabatan politik tersebut saja tidak dipenuhi disini, apalagi pada optik demokrasi deliberatif yang berusaha menyentuh aspek substansial dari demokrasi. Deliberatif berusaha menghadirkan aspek diskursus publik. Deliberatif juga berusaha menghadirkan partisipasi dialogis dan sintetis. Bagaimana seharusnya setiap kebijakan publik dan keputusan pemerntah itu hadir melalui proses konsultasi publik atau dialektika. UU Nomor 10 Tahun 2016 secara fundamental beberapa pasalnya cukup kontradiksi dengan komitmen negara kita terkait demokrasi. Pengangkatan Pj kepala daerah minim diskursus publik, mereka yang akan mengisi jabatan-jabatan itu saja tidak dipernah ditunjukkan ke pada publik untuk setidaknya hadir peran publik dalam menilai kompetensi mereka. Jika yang ada hanyalah ketertutupan pemerintah dan dominasi maka tidak heran demokrasi kita sebatas demokrasi elit yang sulit untuk menyentuh mereka yang berada di bawah kekuasaan atau demokrasi partisipastoris. Pengangkatan Pj kepala daerah hanya menjadi instrument pengukuhan hegemoni dan dominasi pusat dan pengkhianatan atas prinsip demokrasi dan juga terkait asas desentralisasi dan otonomi daerah.

Selain itu, jika kita mengacu pada teori konflik khususnya tataran penyebab konflik antara kemajemukan horizontal vs kemajemukan vertikal, kemajemukan vertikal menjadi relevan dengan kasus tersebut karena kemajemukan vertikal terjadi sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan akan kepentingan yang bertentangan dengan kelompok kecil masyarakat yang mendominasi ketiga sumber pengaruh tersebut. Jabatan-jabatan kepala daerah memang menjadi sebuah jabatan strategis karena penguasaan pos-pos sumber daya dan menjadi instrumen legitimisi penguat bagi pemerintah pusat, maka ini menjadi sebuah kepentingan yang harus diamankan oleh penguasa khususnya pemerintah pusat yang memiliki kekuasaan, dan pihak lain juga mempunyai kepentingan untuk mengisi jabatan-jabatan politik yang berdasarkan kontestasi demokrasi tersebut, khususnya mereka yang berusaha menegakkan otonomi daerah dengan menginginkan putra-putri daerah setempat yang lebih mengetahui permasalahan dan pengelolaan daerahnya sehingga bisa merasakan kemandirian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perbedaan kepentingan dan tujuan akan menjadi pemicu konflik. Hal tersebut juga sejalan dengan teori-teori penyebab konflik, khususnya pada teori negosiasi prinsip. Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena posisi-posisi para pihak yang tidak sejalan dan adanya perbedaan-perbedaan di antara para pihak. Berdasarkan konsep konflik politik, perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan dan perebutan dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan nilai-nilai dan kepentingan disebut konflik. Oleh karena itu berdasarkan pandangan konflik, pada dasarnya politik adalah konflik. Dalam pandangan ini konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat, termasuk dalam proses politik, dalam hal ini pengangkatan Pj (Penjabat) Kepala Daerah. Selain itu, konflik merupakan gejala yang inheren dalam setiap proses politik.

REFERENSI

Arifin, Firdaus dan Fabian Riza Kurnia, Penjabat Kepala Daerah. Yogyakarta: Thafa Media, 2019

Harjudin, Laode, dkk. "Menggugat Penunjukkan Penjabat (Pj) Kepala Daerah Tanpa Pemilihan: Tergerusnya Kedaulatan Rakyat dan Menguatnya Dominasi Pemerintah Pusat," Journal Publicuho Vol. 5 (November-Januari 2022)

Ramdani, Dadan. Problematika Penunjukkan Penjabat Kepala Daerah Pada Masa Transisi Pilkada Serentak

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline