Lihat ke Halaman Asli

Dendang Geliat Orang Rantai

Diperbarui: 25 Februari 2019   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Emancipate yourselves from mental slavery, none but ourselves can free our minds. (Marcus Garvey -- Jamaican Journalist) 

Bersama surya tunggang di perbukitan, orang berduyun ke alun-alun. Mereka menyebutnya Lapangan Segi Tiga. Di sakunya terselip kupon aneka warna dan pulpen. Di depannya Kantor Tambang Batubara Ombilin (Ombilin Minjnen) berona oranye tua. Saat saklar lampu ditekan kerumunan kian tak terhingga.

Tak jauh. Dari ujung lorong remang dan pengap jerit parau tak terdengar. Ini kami tutup, sengaja dibuat pepat. Di baliknya masih ada tulang-belulang pekerja tambang. Jelas pemandu. Mereka rang rante, pekerja paksa (dwangarbeiders) yang kaki dan badannya diikat rantai besi. Sedikit mereka malas mengangkat balencong, cambuk bicara.

Orang rantai tak hanya berasal dari Sumatra, penjajah Belanda pun mendatangkannya dari Makassar, Kalimantan, dan Jawa. Mbah Suro salah satunya. Beliau aktivis gerakan Samin yang sengaja dibuang ke sini.

Seperti le quattro stagioni, mobil kami berjalan dalam tempo cepat-lambat-cepat. Melaju ke timur laut membelah pedalaman Sumatra Barat. Melewati Hutan Raya Bung Hatta, Kota Solok, Cupak, dan rute-rute berkelok lainnya. Butuh sekitar tiga jam berkendara dari Bandara Minangkabau sebelum tiba di kota seluas 274 km2 ini.

Kami naik turun mencari urat Batang Ombilin. Kota yang kami tuju ada di lembah kultur agraris Minangkabau. Oleh pemerintah kolonial, kota dieksploitasi menjelma pusat industri tambang. Semua berawal sejak insinyur De Greve kali pertama mengendus aroma batu bara. Era 1890-an. Meski ujungnya ia meregang nyawa tragis di Lubuk Kubang Buayo.

Lokomotif uap Mak Itam yang pernah berderit antara Teluk Bayur yang kala itu bernama Emmahaven dan Muarokalaban adalah saksinya. Sepur buatan Jerman itu mengangkut mutiara hitam melintasi Lembah Anai dan menyusuri Danau Singkarak. Betapa menyayat indahnya.

Seiring gerak zaman, kota bergulir di atas roda penambangan tanpa tuan. Tak terkendali nagari kubang pun berinvolusi dan ditinggalkan. Sepi menghuni sekian musim. Kini nafas kota yang sempat terlantar dihembuskan kembali. Dari gugus selimut kabut Bukit Barisan, kota menggeliat menjadi destinasi andalan. Sawahlunto: destinasi wisata kota tambang berbudaya.

Kami berdiri di pintu Lubang Mbah Suro. Tak jauh dari patung pendorong lori. Sebelum masuk kami dilengkapi boot dan helm pengaman. Lubang Mbah Suro berada di kedalaman 15 meter. Tinggi langit-langit dan lebar lubang tak lebih dua meteran. Dari panjang seluruhnya yang mungkin 1 km, hanya 186 meter yang boleh disusuri. Sisannya adalah misteri.

Begitu kaki menuruni tangga, udara dingin senyap menyergap. Lubang memiliki kemiringan 20 derajat. Makin jauh ke dalam lubang kian lembab. Licin. Air merembes di dinding. Kami mengiringi langkah dan arahan pemandu. Hingga di persimpangan. Sang pemandu berhenti dan memberi penjelasan. Mendengarnya adakah dari kami yang kuduknya tak berdiri?

Tak sampai setengah jam penyusuran Lubang Mbah Suro usai. Kami bernafas lega. Berikutnya Museum Goedang Ransoem menunggu. Letaknya tak jauh dari Liang Mbah Suro. Dibangun pada 1918, museum adalah bekas dapur umum penyedia makanan bagi para buruh tambang. Pada masa perjuangan aktivitas memasak bagi tentara pun dipusatkan di sini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline