Setiap bulan Ramadhan tiba, suara petasan kerap mewarnai suasana, baik saat menjelang waktu berbuka puasa maupun di malam hari. Tradisi ini telah berlangsung lama di berbagai daerah di Indonesia, dan bagi sebagian masyarakat, petasan menjadi bagian tak terpisahkan dari kemeriahan Ramadhan.
Namun, tradisi petasan ini juga menuai pro dan kontra. Di satu sisi, tradisi ini dianggap sebagai bagian dari budaya dan tradisi yang perlu dilestarikan. Bunyi petasan diyakini dapat membangunkan orang untuk bersiap-siap berbuka puasa, sekaligus memeriahkan suasana Ramadhan.
Di sisi lain, tradisi petasan juga menimbulkan berbagai dampak negatif. Bahaya ledakan petasan yang dapat menyebabkan luka bakar, hingga mengganggu ketenangan masyarakat, menjadi alasan utama untuk meninggalkan tradisi ini. Selain itu, polusi suara yang dihasilkan petasan juga dikhawatirkan dapat mengganggu ibadah dan aktivitas belajar.
Argumen Melestarikan Tradisi Petasan:
- Bagian dari budaya dan tradisi: Tradisi petasan telah berlangsung lama dan menjadi bagian dari budaya di beberapa daerah.
- Membangunkan orang untuk berbuka puasa: Bunyi petasan dapat membantu membangunkan orang yang sedang tidur agar bersiap-siap berbuka puasa.
- Memeriahkan suasana Ramadhan: Tradisi petasan dianggap dapat memeriahkan suasana bulan Ramadhan dan menciptakan keceriaan.
Argumen Meninggalkan Tradisi Petasan:
- Bahaya ledakan: Petasan dapat menyebabkan luka bakar dan membahayakan keselamatan diri sendiri dan orang lain. Ada banyak kasus tentang tragedi petasan, misalnya di Pemalang dan purwodadi yang terkenal akan tradisi menyalakan petasan jumbo yang menelan korban.
- Polusi suara: Bunyi petasan dapat mengganggu ketenangan masyarakat, terutama saat beribadah dan beraktivitas. Saya sendiri kurang setuju jika menyalakan petasan di sekitar perumahan, hal ini jelas menimbulkan polusi udara dan menggangu masyarakat sekitar. Lain halnya jika dinyalakan di tanah lapang atau daerah yang jauh dengan pemukiman, mungkin hal tersebut bisa mengurangi polusi udara yang disebabkannya.
- Penggunaan dana yang tidak tepat: Biaya untuk membeli petasan dapat digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.
Alternatif Tradisi Pengganti Petasan:
- Membuat kreasi suara yang kreatif: Mengganti petasan dengan kreasi suara yang lebih aman dan kreatif, seperti memukul beduk atau memainkan alat musik tradisional.
- Mengadakan kegiatan yang bermanfaat: Mengisi bulan Ramadhan dengan kegiatan yang bermanfaat, seperti tadarus Al-Quran, pesantren kilat, atau kegiatan sosial.
Kesimpulan:
Tradisi petasan di bulan Ramadhan merupakan sebuah fenomena yang kompleks, dengan sisi positif dan negatifnya. Keputusan untuk melestarikan atau meninggalkan tradisi ini ultimately terletak pada pertimbangan masing-masing individu dan masyarakat.
Penting untuk mengevaluasi tradisi ini dengan mengedepankan objektivitas dan toleransi. Dialog yang konstruktif antar berbagai pihak terkait perlu dilakukan untuk mencapai solusi yang terbaik. Keputusan untuk melestarikan atau meninggalkan tradisi ini akhirnya tergantung pada pertimbangan masing-masing individu dan masyarakat.
Di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, mari kita bersama-sama menciptakan suasana yang aman, nyaman, dan damai bagi semua. Tradisi boleh saja berbeda, namun esensi Ramadhan adalah untuk meningkatkan ketakwaan dan mempererat tali persaudaraan.
Semoga Ramadhan tahun ini membawa keberkahan bagi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H