Lihat ke Halaman Asli

Atanshoo

Mahasiswa

Keluh Kesah Puasa di Perantauan

Diperbarui: 14 Maret 2024   22:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keluh Kesah Puasa di Perantauan - Atanshoo (Umar Ben on Unsplash)

Puasa di perantauan tahun ini terasa berbeda. Sahur dan berbuka tak lagi ditemani hangatnya keluarga. Sendiri, di perantauan ini, aku harus menjalaninya dengan penuh perjuangan. Mungkin perasaan ini mewakili kalian juga, baca sampai akhir okeyy!

Sahur Sepi, Berbuka Sederhana

Setiap pagi, aku harus bangun lebih awal untuk menyiapkan sahur. Tak ada lagi masakan ibu yang menanti di atas meja, tak ada lagi teriakan yang membangunkan diriku. Terkadang, aku sahur bersama teman, tapi tak sehangat bersama keluarga di rumah.

Berbuka pun tak kalah sepi. Menu berbuka yang biasanya tersaji istimewa di rumah, kini hanya biasa saja. Bukan karena makanannya tetapi orang yang menghidangkannya.  Mungkin di perantauan ini aku lebih sering makan lele, ayam, atau makanan enak lainnya, tapi rasanya kalah dengan masakan ibu walaupun hanya sekedar tahu tempe.

Magang Berat, Penilaian Subjektif

Di tengah kesibukan berpuasa, aku juga harus menjalani magang di bidang administrasi. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik. Datang tepat waktu, mengerjakan tugas dengan penuh tanggung jawab, dan selalu aktif dalam menyelesaikan masalah.

Namun, kenyataan tak sesuai harapan. Aku mendapatkan nilai magang yang kurang memuaskan. Alasannya? Subjektifisasi dari pimpinan magang. Aku merasa kecewa. Perasaanku campur aduk, sedih, lelah, dan frustrasi. Hati terasa sakit dan putus asa, pikiran berkunang-kunang hebat. Sudah bekerja semaksimal mungkin, namun tidak dihargai. Belum lagi tuntutan rekognisi mata kuliah yang bejibun laporannya. Semoga saja kuat sampai tamat...

Tetap Semangat, Mencari Hikmah

Meskipun dihadapkan dengan berbagai rintangan, aku tak ingin menyerah. Aku terus berusaha untuk menjalani puasa dengan sebaik mungkin. Walau menjalaninya dengan "Ya Allah-Ya Allah". Puasa di perantauan mengajariku arti kemandirian dan kesabaran. Aku belajar untuk mengurus diri sendiri, bersabar, dan terus bersabar, bersabar untuk menghadapi situasi yang sulit walaupun aku tahu aku tidak baik-baik saja.

Di bulan Ramadhan ini, aku berdoa agar Allah SWT memberikan kekuatan dan ketabahan untuk menjalani sisa bulan puasa di perantauan ini. Aku berharap, nilai magangku dapat dipertimbangkan kembali dengan objektif. Dan yang terpenting, aku ingin selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan. Aku yakin, Allah SWT selalu bersamaku dalam setiap langkahku.

Pesan untuk Teman-teman Perantau

Bagi teman-teman perantau yang juga merasakan hal yang sama, janganlah bersedih. Kita tidak sendiri. Mari kita jadikan bulan Ramadhan ini sebagai momentum untuk belajar dan meningkatkan diri. Tetap semangat dan jangan mudah menyerah. Semoga Allah SWT memberikan kemudahan dan kelancaran bagi kita semua dalam menjalani ibadah puasa di perantauan ini.

SEMANGAT MAGANG BUDAK CORPORATE!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline