Mas Penyair dan Bidadari Komplek
(Atanshoo)
(Mas-mas penyair duduk termenung di pinggir teras masjid, menatap langit yang penuh bintang sambil sesekali menulis di buku catatannya.)
Diyana: (tersenyum ramah dengan mukena yang ia pakai ketika sholat) "Malam, Mas Penyair. Sedang merangkai kata-kata indah lagi ya?"
Mas Penyair: (agak terkejut, lalu membalas senyum Diyana) "Malam, Mbak Bidadari. Ah, iya. Sedang mencoba menangkap sejumput keindahan malam ini."
Diyana: (duduk di sebelah Mas Penyair dengan jarak satu meter) "Indah sekali ya, langitnya. Penuh bintang, seperti ditaburi permata."
Mas Penyair: (mengangguk) "Memang. Tapi keindahan sejati terkadang tak bisa dilihat hanya dengan mata. Ia perlu dirasakan dengan hati."
Diyana: (menatap Mas Penyair) "Seperti apa, Mas Penyair? Keindahan yang dirasakan dengan hati?"
Mas Penyair: (tersenyum) "Seperti gema takbir yang menggetarkan jiwa saat berbuka puasa dan Iftar bersama, itu sangat indah mbak."
Diyana: (mengangguk pelan sambil tersenyum tipis) "Atau lantunan ayat suci yang menenangkan kalbu di malam tarawih. Syahdu sekali."
Mas Penyair: (menatap Diyana) "Dan lihatlah, Mbak Bidadari. Senyumanmu di bawah cahaya masjid itu, indahnya tak terkira."
Diyana: (tertawa kecil) "Ah, Mas Penyair bisa saja. Tapi bukankah itu hanya pujian biasa?"
Mas Penyair: (menggeleng) "Tidak, Mbak Diyana. Senyuman yang ikhlas dan terpancar dari hati yang suci, itu adalah puisi terindah yang pernah saya lihat."
Diyana: (tersipu dan ingin mencubit namun tidak bisa) "Mas Penyair..."
Diyana: "Aku pulang dulu mas, kalau disini lama-lama aku bisa jadi lilin yang terus meleleh oleh rayuanmu"
Mas Penyair: "hehehe, hati-hati ya pulangnya mbak bidadari. Jangan terlalu sering senyum, takutnya bulan dan bintang kalah indah denganmu."
Diyana: "Tuhkan.... masih sempet-sempetnya ngerayu loh.."
(Diyana berjalan meninggalkan Mas Penyair yang masih terdiam sambil menatap langit, penuh dengan bayangan dan ilham untuk puisi berikutnya.)
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Mas Penyair itu bernama Ata.