Lihat ke Halaman Asli

Atanshoo

Mahasiswa

Antara "Gemoy" dan Umpatan: Dua Wajah Prabowo

Diperbarui: 12 Januari 2024   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.(ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA) 

Dilansir dari JAKARTA, KOMPAS.com - Di tengah periode kampanye Pilpres 2024, Prabowo Subianto, calon presiden dengan nomor urut dua, menjadi pusat perhatian. Hal ini terutama dikarenakan serangkaian pernyataan kontroversial yang ia sampaikan selama kampanye di berbagai lokasi. Perilaku ini tampak bertentangan dengan upaya pencitraan yang dilakukan oleh Prabowo dan timnya, yang biasanya menonjolkan dirinya sebagai pemimpin yang bersahabat dan dekat dengan rakyat, terutama generasi muda, melalui penggunaan istilah "gemoy" dan iklan kampanye yang melibatkan gambar kecerdasan buatan (AI).

Sejalan dengan itu, Prabowo digambarkan sebagai pemimpin yang mengayomi dan dapat bekerja sama dengan pihak lain, termasuk Presiden Jokowi, yang pernah menjadi lawannya di Pilpres 2019. Dengan latar belakang militer, ia juga dianggap sebagai sosok yang tangguh. Namun, citra yang dibangun ini seringkali tidak konsisten dengan tindak tanduknya saat debat Pilpres atau di hadapan pendukungnya.

Dalam salah satu debat Pilpres yang disiarkan secara online, Prabowo terlihat emosional dalam menjawab pertanyaan dari rivalnya. Misalnya, setelah debat pertama Pilpres 2024 pada 12 Desember 2023, Anies Baswedan menanyakan pendapat Prabowo tentang kemitraannya dengan Gibran Rakabuming Raka, menyinggung keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang diambil oleh paman Gibran, Anwar Usman. Sebagai tanggapan, Prabowo memberikan komentar yang cukup keras dalam sebuah forum internal Partai Gerindra, yang kemudian tersebar luas di media sosial.

Kemudian, dalam debat lain, Anies menyoroti kepemilikan tanah Prabowo yang mencapai 340.000 hektar dan membandingkannya dengan situasi prajurit TNI dan Polri yang belum memiliki rumah dinas. Prabowo menanggapi ini dengan santai, mengaku tidak terpengaruh oleh penilaian Anies dan menegaskan bahwa ia telah mengembalikan tanah tersebut kepada negara dua tahun lalu.

Setelah debat ketiga Pilpres, media sosial dipenuhi dengan narasi yang menggambarkan Prabowo sebagai korban serangan personal dari Anies dan Ganjar Pranowo, calon presiden nomor urut tiga. Agung Baskoro, Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, menilai bahwa kampanye dan pencitraan awal Prabowo berhasil menarik simpati, terutama dari generasi muda. Namun, ia juga menekankan bahwa pencitraan politik yang efektif harus konsisten antara tampilan publik dan perilaku sehari-hari, terutama dalam situasi debat dan kampanye terbuka. Agung menyarankan tim kampanye Prabowo untuk mengkondisikan citra yang lebih adaptif dengan realitas politik yang ada.

Sebagai penutup, perjalanan kampanye Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 menggarisbawahi pentingnya konsistensi dalam pencitraan politik. Meskipun strategi awalnya berhasil menarik perhatian dan simpati, terutama dari generasi muda, tantangan terbesar yang dihadapi adalah menyelaraskan citra yang dibangun dengan realitas dan perilaku sehari-hari, khususnya saat berada di bawah tekanan debat dan situasi kampanye langsung. Keberhasilan dalam hal ini tidak hanya akan memperkuat kepercayaan publik terhadap sang calon, tetapi juga memastikan bahwa citra yang dibangun dapat berdampak positif dan berkelanjutan dalam konteks politik yang lebih luas. Dengan Pilpres 2024 yang semakin dekat, mata publik akan terus mengawasi, menilai, dan menentukan pilihan mereka berdasarkan fakta dan representasi yang autentik dari setiap calon.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline