Sudah kurang lebih satu semester lamanya kira-kira yang disebut COVID-19 singgah dalam tatanan hidup kita. Berbagai perubahan yang menuntut kemampuan berpikir manusia untuk bisa bersahabat dengannya memang jadi suatu keniscayaan. Mungkin, telah banyak artikel yang membahas tentang COVID-19 dengan segala ulahnya beberapa bulan ini. Entah itu dari sisi kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan sektor lain yang dirasa menjadi oleng sebab kehadirannya. Namun, pada artikel perdananya, seorang penulis amatir ini akan sedikit berbagi hikmah yang harapannya bisa menjadi pengingat untuk para pembaca.
Saat awal kali keberadaannya diberitakan, COVID-19 terlihat seperti ancaman yang begitu besar bagi banyak orang. Jelas di depan mata bagaimana orang-orang begitu panik yang berefek pada panic buying untuk membeli alat pelindung diri seperti masker dan hand sanitizer. Bagaimana tidak, penyebaran COVID-19 yang begitu cepat, menyerang saluran pernafasan, bahkan tak sedikit yang direnggut nyawanya oleh makhluk kecil tak kasat mata ini.
Sebenarnya, fenomena ini bisa kita tarik benang merah untuk mengambil hikmah yang harapannya bisa dijadikan bahan refleksi untuk senantiasa semakin semangat mengejar yang disebut kebahagiaan di akhirat.
Ancaman merupakan kata ancam yang berimbuhan --an. Dalam KBBI, ancam adalah rugi; sulit; susah; celaka. Dalam artian ancaman yaitu suatu hal yang bisa merugikan, menyulitkan, menyusahkan, juga menyelakakan. Sigmund Freud dan Anna Freud melakukan penelitian sosial tentang reaksi manusia ketika menghadapi ancaman. Saat Anda menghadapi situasi yang sulit atau tidak nyaman, pikiran Anda membutuhkan cara tertentu untuk melepaskan diri dari emosi yang muncul. Hal ini terjadi karena secara naluriah manusia selalu menghindari perasaan yang negatif seperti sedih, marah, kecewa, malu, dan takut. Selain itu, Anda juga dituntut untuk tidak meluapkan emosi negatif dalam masyarakat dan lingkungan sosial. Maka suatu hal yang wajar jika refleks orang-orang jika bersikap menghindari suatu hal yang dianggapnya sebagai ancaman.
Jika melihat fenomena sosial tersebut, kita bisa mengambil benang merah bahwa manusia memiliki sifat alamiah menghindar terhadap apa yang dianggapnya sebagai ancaman. Namun, standar dan nilai ancaman bagi tiap orang tentulah berbeda-beda. Ada yang menganggap kecoak sebagai ancaman terburuk, apalagi jika kecoak terbang, ewhhh. Ada pula yang melihat kecoak adalah makhluk biasa saja, tak berbahaya kecuali jika racunnya bercecran dimana-mana.
Perbedaan ancaman ini ternyata disebabkan karena adanya cara berpikir yang berbeda pada tiap diri manusia. Tergantung pengaruh sosial,lingkungan, pengaman masa lalu, persepsi persoal, dan lainnya. Maka dari itu,sebenarnya ancaman yang hendaknya kita anggap sebenarnya bisa direkayasa oleh pikiran kita sendiri. Jika corona saja bisa memberi efek sebegitu dahsyatnya untuk membuat orang-orang takut dan merasa terancam, seharusnya ada hal yang sebenarnya bisa membuat kita lebih merasa terancam.
Rasa terancam itu baiknya kita gunakan pula untuk menghayati, memahami, dan memasukkan ke dalam sanubari tentang luar biasanya ancaman dari Tuhan pada hambanya yang tidak taat pada titah-Nya. Mungkin biasanya manusia lupa, bahwa siksa dan balasan pedih dari-Nya akan amatlah berat, ditambah lagi hari pembalasan tidak akan berlangsung sebentar saja, tapi selamanya. Lupa akan ancaman Tuhan memang wajar, karena ia terasa jauh dan terkesan fana sebab tak ada di depan mata kita. namun, perlu kita sadari bahwa hal yang ada tidak melulu bersifat materi, tapi ada juga yang imateri. Tidak terlihat, tidak sama dengan tidak ada... Itu.
Merasa ancaman Tuhan begitu dekat dan nyata memberi impact luar biasa bagi manusia untuk mendorong dirinya untuk menghindari ancaman tersebut. Sebab itulah Tuhan memberi gambaran neraka pada beberapa firmannya dengan bahasa eksplisit untuk menimbulkan theater of mind bagi yang membaca dan memahami ayat-Nya.
"...sama dengan orang yang kekal dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya?" Muhammad ayat 15
"Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri (6) yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan rasa lapar. (7)" Al-Ghasiyah ayat 6-7
"Sesungguhnya kalian wahai orang-orang yang sesat lagi mendustakan (51) kalian benar-benar akan memakan pohon zaqqum. (52) Dan kalian akan memenuhi perutmu dengannya. (53)" Al-Waqiah 51-53.