Lihat ke Halaman Asli

Kepala Desa Demo DPR Tuntut 9 Tahun Masa Jabatan

Diperbarui: 4 April 2023   18:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MASA JABATAN KEPALA DESA MENURUT UNDANG- UNDANG
Menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/ atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
MASA JABATAN MENURUT ATURAN

Masa jabatan kepala desa telah diatur dalam Pasal 39 Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Berdasarkan Pasal 38 Ayat( 1) UU Desa disebutkan bahwa kepala desa memegang jabatan selam enam tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Baca juga 3 Asosiasi Minta Revisi UU Desa Tingkatkan Anggaran Dana Desa, Bukan Hanya Soal Masa Jabatan Bahkan, seorang kepala desa bisa mengemban jabatan tersebut lebih dari satu kali periode. 

Pada Pasal 39 Ayat( 2) disebutkan bahwa kepala desa sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 Ayat( 1) dapat menjabat fading banyak tiga kali masa jabatan. Tiga periode jabatan tersebut dapat diemban seorang kepala baik secara berturut- turut atau tidak secara berturut- turut. Artinya, dengan merujuk aturan tersebut, setiap kepala desa bisa mengemban jabatan selama 18 tahun dengan tiga kali periode jabatan. Sementara, jika merujuk pada dorongan perpanjangan masa jabatan menjadi sembilan tahun, setiap kepala desa bisa menduduki posisi tersebut selama 27 tahun dengan tiga kali periode jabatan. Dalam Pasal 40 Ayat( 1) UU Desa disebutkan bahwa kepala desa berhenti apabila meninggal dunia, permintaan sendir, atau diberhentikan.

TANGGAPAN JOKOWI TERHADAP PERPANJANGAN MASA JABATAN KEPALA DESA
Belum lama ini para kepala desa seluruh Indonesia melakukan demonstrasi di Gedung DPR. Mereka menuntut perubahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun.
Kemudian tuntutan itu direspons positif oleh pemerintah dan DPR. Bahkan, Badan Legislasi dan sebagian anggota fraksi partai politik di DPR mengusulkan agar revisi Undang- Undang( UU) Desa menjadi Program Legislasi Nasional( Prolegnas) prioritas tahun 2023.
Presiden Joko Widodo menanggapi masalah itu dengan memberi respons positif berkaitan dengan tuntutan demonstrasi. Kemudian diikuti dengan sikap pembantu Presiden yang mendukung usulan perpanjangan masa jabatan, seperti Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar. Bahkan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menyatakan telah menyiapkan kajian akademik tentang perpanjangan masa jabatan kepala desa tersebut.
Wacana revisi UU desa sebenarnya bukanlah isu baru karena pada 2021 pernah dilakukan uji materi terhadap UU Desa ini ke Mahkamah Konstitusi( MK), khususnya mengenai masa jabatan kepala desa.
MK kemudian menerbitkan Putusan No 42/ PUU- XIX/ 2021 yang menyebutkan bahwa pembatasan masa jabatan kepala desa selama enam tahun, dengan paling banyak tiga kali masa jabatan, merupakan aturan yang konstitusional.
MK berpendapat, alasan ketidakcukupan waktu untuk menjalankan visi dan misi kepala desa jika masa jabatan dibatasi selama enam tahun bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Bahkan, jika dibandingkan dengan masa jabatan untuk pejabat publik yang dipilih secara langsung- yang ditetapkan hanya lima tahun dan hanya dapat dipilih untuk dua kali masa jabatan- jabatan kepala desa sudah dinilai maksimal, yakni 18 tahun.
Tuntutan masa jabatan kepala desa ini harus dibaca dari sudut pandang lebih luas, terutama dari sudut pandang Indonesia sebagai negara demokrasi. Regenerasi kepemimpinan merupakan ciri mutlak dari demokrasi prosedural.
Sistem demokrasi prosedural mengandung konsekuensi pembatasan masa jabatan bagi pejabat publik. Oleh karena itu, desa sebagai institusi demokrasi lokal mengatur mengenai pemberian batasan jabatan bagi kepala desa yang hanya enam tahun dan bisa dipilih dalam tiga kali masa jabatan sebagaimana diatur di Pasal 39 Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Jika dilihat dari alasan yang disampaikan para kepala desa yang menuntut masa jabatan diperpanjang menjadi sembilan tahun, sesungguhnya tidak jauh beda dengan alasan yang pernah diterima MK, yaitu adanya konflik di dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa yang dianggap berdampak pada pembelahan sosial yang tidak kunjung selesai dihadapi kepala desa, dan adanya dampak terhadap pembangunan desa yang terbengkalai akibat konflik.
Lalu, pertanyaan berikutnya, apakah durasi masa jabatan menjadi solusi? Jika berkaca pada pengalaman penyelenggaraan pemerintahan, justru masa jabatan yang panjang dapat menimbulkan praktik pembangunan menjadi lebih sulit karena masa jabatan yang panjang cenderung menimbulkan otoriteritarianisme, praktik koruptif dan nepotisme.

DEMOKRATISASI DESA
Demokratisasi dalam pengertian sederhana ialah pelibatan masyarakat politik ke dalam sistem pemerintahan.
Demokratisasi secara konkret beralih dari rezim yang tertutup( otoriter) ke partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Wujud dari demokratisasi desa di Indonesia ialah lahirnya UU Desa.
Menurut data resmi hasil rilis Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, UU Desa telah memberi dampak konkret terhadap pembangunan desa.
Data sepanjang 2015- 2022 menunjukkan, jumlah desa tertinggal mengalami penurunan. Dari33.902 desa tertinggal dan13.453 desa sangat tertinggal tahun 2015 menjadi9.584 desa tertinggal dan4.982 desa sangat tertinggal pada 2022.
Catatan data ini merupakan Indeks Desa Membangun( IDM) yang diukur dengan melihat indeks ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Capaian IDM ini tak lepas dari lahirnya UU Desa dan secara spesifik terkait pemberian dana dari pemerintah pusat kepada desa dalam program Dana Desa.
Namun, persoalan yang kerap terjadi di position demokratisasi desa ialah walau dana desa miliaran rupiah per tahun digulirkan, penyelenggaraan demokratisasi desa selalu menemui masalah. Masalah yang kerap dialami ialah korupsi, politik uang di pilkades, pungli, serta lemahnya transparansi dan pelibatan masyarakat dalam penggunaan Dana Desa.
Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi, sampai tahun 2022 terdapat 686 perangkat desa yang terjerat korupsi Dana Desa. Jumlah ini adalah jumlah yang cukup besar berdasarkan tingkat kerawanan praktik korupsi di Indonesia. Hal ini yang membuat praktik demokratisasi di tingkat desa tidak memiliki korelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, masalah pokok yang dihadapi desa sebenarnya bukan pada durasi masa jabatan yang menghambat pembangunan, melainkan internal sumber daya manusia pejabat desa yang masih belum memiliki pemahaman bagaimana menjalankan sistem demokrasi yang baik sesuai dengan UU Desa agar memberi dampak terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline