Lihat ke Halaman Asli

Aswin Anzani

Guru di SMAN 1 Baros

Reproduksi Okupasi Buruh Industrial, Buruh Menjadi Pekerjaan dari Generasi ke Generasi

Diperbarui: 4 November 2020   11:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berkembangnya industri di desa Talaga, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sekitar akan lapangan pekerjaan yang dirasa mampu dijadikan sebagai penyangga hidup, bahkan beberapa diantaranya mampu membeli berbagai macam barang cukup mewah. Berbagai macam kekayaan yang dipertontonkan oleh para buruh ini membuat para orang tua yang semestinya menyekolahkan anak-anaknya justru lebih cenderung mengharapkan anak-anaknya bisa cepat bekerja agar bisa membeli berbagai macam barang sebagai prestise.

Berdasarkan hal tersebut secara tidak langsung, industri yang seharusnya mampu meningkatkan bidang pendidikan kepada masyarakat sekitar dikarenakan kebutuhan akan tenaga kerja yang ahli dan terdidik, namun faktanya justru membuat masyarakat sekitar menjadi tidak peduli dengan pendidikan. Masyarakat melihat, walaupun tanpa pendidikan yang tinggi, dengan menjadi buruh mereka mampu membeli berbagai macam barang yang cukup prestise. Bidang pendidikan bukanlah hal yang penting bagi mereka, pendidikan atau sekolah hanyalah sekedar proses yang yang mesti dilalui begitu saja tanpa ada kesadaran bahwa dengan bersekolah itulah kemungkinan bagi mereka untuk memperoleh peluang hidup yang lebih baik akan diraih. Hal inilah yang memicu terjadinya reproduksi okupasi dalam keluarga buruh. Buruh menjadi sebuah pekerjaan yang berlaku bagi generasi ke generasi.

Jika kondisi semacam ini terus berlangsung, dikhawatirkan akan mengakibatkan sulitnya mobilitas vertikal naik (stagnan),  karena para buruh ini walaupun upah mereka cukup besar namun selalu dibayang-bayangi PHK dan putus kontrak. Pada saat mereka tiba-tiba di PHK atau putus kontrak, mereka bingung untuk mengatasi kebutuhan ekonominya dikarenakan ketiadaan investasi masa depan.

Desa Talaga pada tahun 1980  mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan perkebunan, walaupun memang tidak ada hasil pertanian yang dibanggakan yang dapat dijadikan penyangga hidup warga. Warga bertani hanya sebatas untuk dikonsumsi sendiri, karena tanah di desa ini tidak terlalu subur. Adapun di jual tetapi hanya sebatas dijual di desa sendiri, tidak sampai dijual ke daerah lain.  Hingga akhirnya pada tahun 1985, terjadi pembangunan industri besar-besaran di kabupaten Tangerang, tidak terkecuali desa Talaga yang mengalaminya. Banyak sawah dan lahan dibeli oleh pihak asing untuk didirikan pabrik-pabrik. Hingga pada tahun 2017 berdasarkan data monografi desa tercatat terdapat 104 industri yang ada di desa Talaga, mayoritas warga bermata pencaharian sebagai buruh di pabrik ini.

Sebanyak 2035 orang (75%) warga desa Talaga menggantungkan hidupnya di industri ini. Industri-industri ini memang menyerap tenaga kerja bagi warga sekitar, namun mayoritas ditempatkan menjadi buruh pabrik, baik pria maupun wanita. Sedangkan para petinggi perusahaan yang memegang jabatan atau keahlian khusus justru orang-orang asing yang sengaja didatangkan dari daerah lain. Pribumi menjadi buruh di kampung halamannya sendiri atau yang peneliti sebut “menjadi pembantu di rumah sendiri”.

Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi orang tua dalam memaknai pendidikan, khususnya pada keluarga buruh di Desa Talaga:

  • Bias Fungsi Pendidikan

Pendidikan pada umumnya berfungsi untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki anak. Namun kini fungsi pendidikan tampaknya makin dipandang tidak jelas terutama oleh mayarakat desa Talaga, dan bahkan tidak mustahil dinilai tidak berguna, karena apakah anak itu lulusan SD, SMP, atau lulusan sarjana pun ternyata tetap saja sulit mencari pekerjaan. Berdasarkan apa yang dijelaskan oleh para informan, sering terungkap bahwa masyarakat desa disinyalir cenderung bersikap pesimistis terhadap peran sekolah, karena sehari-hari tidak banyak bukti yang memperlihatkan bahwa sekolah memang dapat menjadi eskalator bagi anak-anak di desa untuk melakukan mobilitas vertikal, maka pandangan masyarakat pada pendidikan pun menjadi bias.

Terdapat beberapa orang lulusan sarjana, namun mayoritas mereka bekerja di industri pula. Kenyataan ini secara langsung maupun tidak telah memberikan pengaruh dan image di benak orang tua dan masyarakat pada umumnya terhadap arti pendidikan/kuliah. Bisa dibayangkan, jika sebuah keluarga selama membiayai anaknya kuliah telah menghabiskan uang jutaan rupiah namun ternyata hasilnya nihil. Gelar sarjana yang telah diraih, ternyata bukan jaminan bagi masa depan anak mereka.

Mereka tampaknya lebih memperlakukan sekolah sekedar untuk mengajari anaknya membaca dan menulis serta yang terpenting yaitu untuk mendapatkan ijazah sebagai persyaratan melamar pekerjaan di industri. Selain itu, menurut penuturan seorang Guru di SDN Talaga I, semenjak ia menjabat sebagai guru, sering sekali para orang tua murid berkomentar dan berpendapat akan fungsi sekolah yang tidak menjamin masa depan anaknya. Bagi mereka yang terpenting bukanlah anak harus belajar sebaik-baiknya agar meraih prestasi, tetapi memandang pendidikan atau sekolah hanyalah sekedar proses yang yang mesti dilalui begitu saja.

Jika berbicara idealnya, memang bagi anak-anak pendidikan pada dasarnya adalah hak yang semestinya dipenuhi. Tetapi bagi masyarakat desa Talaga sendiri tampaknya persoalan yang mereka hadapi bukan sekedar pilihan, apakah anaknya perlu dikuliahkan atau tidak. Di tengah situasi dan tekanan ekonomi serta dorongan lingkungan, secara pragmatis meminta dan mewajibkan untuk cepat mencari kerja dan menafkahi keluarga adalah pilihan yang dinilai lebih rasional daripada bersikeras menguliahkan anaknya yang membutuhkan biaya besar.

  • Masyarakat Economic Oriented

Berkembangnya industri di kecamatan Cikupa, berkembang pula tempat-tempat usaha di sekitarnya, Citra Raya bukan hanya menyediakan perumahan elit dan ruko, namun mulai mendirikan beberapa restauran, tempat makanan cepat saji, cafee, billiard, dan tempat “nongkrong” lainnya. Tempat ini memang diperuntukan bagi warga perumahan Citra Raya yang bisa dikatakan masyarakat elit, namun tidak dipungkiri bahwa tempat-tempat ini juga menarik warga lain yang berada sekitarnya. Banyak warga dari desa Talaga yang beberapa diantaranya bekerja sebagai buruh datang ke tempat ini bersama keluarga dan teman, padahal penghasilan mereka sebagai buruh cukup kecil untuk dapat menikmati tempat-tempat yang cukup elit ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline