Lihat ke Halaman Asli

Wikileaks dan Hubungan Dilematis Indonesia dan Australia

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Heboh kasus wikileaks yang sempat membuat SBY tidak enak badan dan Ibu Ani menangis mungkin perlu dicermati dengan kepala dingin. Perlu disadari, bahwa media Australia, sebagaimana halnya media Barat lain, memiliki kultur liberal yang sangat kental. Slogan “bad news is a good news” seringkali diterapkan dalam keseharian media Australia.

Sungguh sangat ironis bahwa baru setahun kemarin SBY mengunjungi Canberra dan di depan parlemen Australia mengingatkan bagaimana sebagian masyarakat Australia masih memiliki stereotype tentang Indonesia. Masyarakat Australia, menurut SBY,masih menganggap Indonesia negara otoriter yang dikendalikan oleh militer diktator, ekspansionis, dan mengembangkan Islam radikal (The Age,11/03/2010)

Media Australia memang masih sulit melepaskan stereotype ini. Perkembangan Indonesia pasca reformasi yang cenderung positif tampaknya lepas dari pengamatan media Australia. Australia mungkin lupa bahwa sepuluh tahun yang lalu rezim diktator telah berakhir, BJ Habibie telah meletakkan fondasi untuk membangun budaya demokrasi, kebebasan pers dan pemilu bebas dan langsung. Sementara negara Asia lain seperti Cina, Singapore dan Malaysia masih berada dibawah kendali elit yang berkuasa. Namun, tampaknya negara-negara ini tidak banyak mendapat sorotan media Australia.

Sehingga timbul pertanyaan, apa yang menyebabkan media Australia cenderung memiliki persepsi negatif dan stereotype terhadap Indonesia?

Hubungan media Australia dan Indonesia

Media Australia memiliki sejarah yang buruk bila menyangkut hubungannya dengan Indonesia. Indonesia satu-satunya negara Asia yang pernah melarang masuknya wartawan Australia untuk melakukan peliputan dalam wilayah negaranya. Larangan ini berlaku setelah media Australia, Sdney Morning Herald, 10 April 1986, memuat tuduhan korupsi dan kronisme terhadap Suharto dan keluarga Istana. Ketika larangan itu berlaku, media Australia hanya bisa bergantung kepada media internasional lain seperti Reuters dan Associated Press untuk mendapatkan berita dari Indonesia.

Ketidaksenangan media Australia terhadap Indonesia bahkan telah dimulai sejak tahun 1963. Ketika itu Sukarno, dengan politik Konfrontasi menentang pembentukan Federasi Malaysia sementara Australia, sebagai mantan jajahan Inggris, mendukungnya. Sukarno pun diberitakan sebagai seorang nasionalis yang agresif dan berbahaya.

Persepsi media Australia semakin buruk terhadap Indonesia ketika lima wartawan Australia terbunuh dalam peristiwa Balibo di Timtim di tahun 1975. Keengganan pemerintah Indonesia untuk menyelidiki kasus ini lebih jauh dianggap oleh pers Australia sebagai bentuk ketidakpedulian Indonesia terhadap hak asasi manusia dan kebebasan pers. Setelah kasus ini,persepsi negatif tehadap Indonesia semakin mengakar dalam benak insan pers Australia.

Persepsi ini masih sulit dirubah, dimana media Australia selama 32 tahun sudah terbiasa melihat Indonesia di bawah rezim otoriter Suharto. Bahkan setelah era reformasi, pemberitaan media massa Australia masih seputar hal-hal negatif, seperti narkoba, terorisme, korupsi, skandal perbankan dan pelanggaran HAM di Papua.

Mungkin hal yang cukup menggembirakan adalah pemberitaan kunjungan Obama ke Indonesia setahun lalu. Pujian-pujian Obama terhadap Indonesia cukup banyak menyita perhatian media Australia. Pemberitaan ini memberikan angin segar dan dapat membantu memperbaiki image Indonesia di mata masyarakat Australia.

Dilema Kultural negara tetangga

Indonesia, sebagaimana halnya negara berkembang lain di Asia, telah sering mengeluh tentang ketidakseimbangan pemberitaan media Barat. Media Barat melakukan pendekatan peliputan dengan bias kultur yang hanya mencerminkan nilai-nilai Barat. Media Barat juga sering dianggap menyerang sosok pemimpin tertentu yang ideologi politiknya tidak sesuai dengan agenda demokrasi Barat. Olehnya, media Barat sering dianggap tidak memenuhi standar ketepatan, keadilan dan ketidakberpihakan dalam pemberitaan.

Media Barat yang melakukan pencitraan negatif terhadap Indonesia tidak hanya media Australia. Media Amerika seperti, New York Times dan CNN sama kritisnya dengan media Australia. Namun media Amerika jarang dipermasalahkan karena Amerika secara geografis letaknya lebih jauh, dan juga pemerintah Indonesia enggan berkonfrontasi dengan media Amerika. Lain halnya dengan media Australia, selain kedekatan geografis, pemerintah Indonesia merasa mampu untuk berkonfrontasi dengan media Australia. Indonesia memiliki bargaining position yang kuat sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, kawasan terdekat Australia.

Perlu dipahami bahwa Australia dengan jumlah penduduk hanya sekitar 20 jutaan, dengan ekonomi dan politik yang stabil, tidak memiliki banyak kontroversi yang dapat diberitakan. Sebagaimana halnya Kanada, yang bertetangga dengan negara raksasa Amerika Serikat. Media Kanada tidak pernah lepas mengikuti perkembangan politik domestik Amerika Serikat. Maka, mirip dengan Kanada, media Australia akan selalu cenderung melihat ke utara, mengikuti perkembangan negara terdekatnya, Indonesia.

Hubungan Indonesia Australia

Seperti halnya pemerintah Jepang yang mampu belajar dari bencana gempa dan Tsunami, pemerintah Indonesia setidaknya perlu belajar dari pemberitaan-pemberitaan negatif media Australia. Daripada hanya mengeluh soal pemberitaan yang tidak seimbang, pemerintah Indonesia sebaiknya memikirkan cara bagaimana merubah persepsi media Australia yang masih cenderung negatif hingga saat ini. Selain itu, pemerintah Indonesia tidak perlu repot repot mengecam pemerintah Australia dan menciderai hubungan bilateral kedua negara. Karena sebagaimana halnya media Barat yang lain, Pemerintah Australia tidak memiliki kontrol terhadap pemberitaan media terutama isu luar negeri.

Pemerintah Australia di lain pihak tidak boleh membiarkan stereotype yang diciptakan media Australia terus tumbuh dan mengakar. Pemerintah Australia harus mendorong insan persnya untuk melakukan pemberitaan yang lebih seimbang terhadap Indonesia. Pemberitaan negatif yang terus menerus tidak akan membantu Indonesia menjadi negara demokratis yang sehat. Penting bagi Australia untuk tetap menjadikan Indonesia sebagai partner dalam menjaga stabilitas kawasan Asia dan Pasifik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline