Sadar atau tidal, untuk menghadirkan generasi baru, bukanlah perkerjaan mudah dan sambil lalu, melainkan diperlukan kerja keras, terencana, serius dan fokus didalam mengejawantahkannya. Apalagi dalam dunia yang semakin mengglobal, dan lebih mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi (science of technology), yang lebih berwawasan materialistik, materi oriented.
Pembangunan manusia baru (kaderisasi) didalam organisasi organisasi partai politik ditanah air sudah mencapai titik yang lumayan sangat mengkawatirkan. Rapuh. Padahal sebagai lembaga politik, seharusnya partai politik mampu menghadirkan generasi generasi baru (kaderisasi partai) didalamnya, lantaran terkait dengan kepemimpinan bangsa Indonesia kedepannya. Namun, fenomena fenomena yang berkelindan menunjukkan, bahwa partai politik sangat sulit untuk mewujudkannya. Hal itu tercermin jelas, dalam proses tahapan-proses pemilihan umum pasca runtuhnya rezim kekuasaan orde baru.
DISERGAP OLIGARKI
Fenomema gagalnya membangun regenerasi (kaderisasi) didalam tubuh partai politik terungkap jelas saat dalam proses penjaringan bakal calon anggota legeslatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), hingga perekrutan saksi saksi di TPS. Persoalan itu diamini oleh pengurus struktural partai maupun struktur sayap partai politik. Mereka merasa kecewa, lantaran nomor urut didalam partai politik mengalami pergeseran, dan bahkan nyaris hilang dari daftar pencalegan di partainya. Diketahui kejengkelan itu, ditengarai masuknya orang orang tak dikenal dan mereka mendaparkan nomor urut yang lumayan sangat bagus dari tubuh partai politik, lantaran memiliki cuan yang lumayan sangat signifikan.
Dan yang membuat mereka kecewa dan marah (namun tak bisa berbuat apa apa), lantaran fenomena itu adalah hasil keputusan dan kebijakan dari pinpinan atau elit partai politik. Pernah suatu hari, seseorang yang didapuk menjadi elit partai dipimpinan wilayah DKI Jakarta, mengalami kesulitan dalam menghadapi kekuatan oligarki yang sudah terlanjur berselingkuh dengan elit partai diatasnya. Seberapa kuat pun dirinya melawan dan membela bacaleg yang potensial dengan jaringan sosial yang dimilikinya, tetap saja kalah dan harus ikut kebijakan yang telah diputuskan oleh elit partai. Mereka bacaleg potensial itu tak berdaya untuk mendapatkan nomor urut yang bagus, jika tak memiliki uang (mahar politic) yang besar dan kedekatan dengan elit partai di DPP.
Secara kasat mata dan terang benderang, tampak. sejumlah banner-spanduk mewarnai jalan jalan publik dengan wajah wajah asing dan baru dalam dunia politik. Sebut saja ada vocalis Band Dewa, Once (PDIP), Ada selebritis-hipnotis, Kuya kuya (PAN), dan seterusnya. Bahkan diruang publik didapatkan ada yang melakukan kampanye politik dengan memberikan sembako kepada bakal calon konsetuennya (warga masyarakat) didaerah pemilhannya (Dapil) masing masing. Dengan model menyerahkan foto copy KK dan KTP warga masyarakat mendapatkan sekantong minyak sayur curah dan kemasan, atau indomie instan, gula, dan seterusnya.
Fenomena politik yang liberal, transaksional dan prakmatis, semakin sulit untuk dapat membangun demokrasi yang sehat dan kuat, serta berdaulat. Demokrasi kebangsaan telah dirampas oleh kekuasaan yang memiliki latar oligarki, sehingga wajar jika warga masyarakat pun cenderung menjadi individu individu yang bersikap transasksional, dan prakmatis dalam menunaikan demokrasi lima tahunan, lantaran terbukti sejumlah calon anggota dewan yang telah menjadi anggota dewan melupakan dan mengingkari janji janjinyan kepada warga masyarakat dan rakyat Indonesia, yang telah Lomemilihya dibilik suara pemilihan.
Pernah suatu hari, seorang warga masyarakat menceritakan pengalamannya, saat memenuhi undangan perkumpulan diwilayahnya : bahwa salah seorang Team sukses partai politik, lumayan sangat gagap ketika menjawab pertanyaan dari salah seorang warga masyarakat mengenai NPWP. Salah seorang Team sukses pun bertanya balik : "Apa itu NPWP ? Dengan lugas warga masyarakat itu pun menjawabnya : "Nomor Piro Wani Piro".
Pada pemilu 2024, diketahui telah lahir sejumlah partai politik baru untuk ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi, dan berharap dapat lolos ke lolos parlemen menduduki kursi kekuasaannya. Memainkan kebijakan kekuasaannya didalam demokrasi. Mereka partai politik baru berupaya membangun citra dan opini diruang publik melalui media sosial, berharap dapat memantik simpatik publik. Dan salah satunya ialah Partai Ummat. Partai yang dilahirkan oleh tokoh reformasi Muhammad Amin Rais, seorang doktor politik lulusan universitas Chicago, Amerika Serikat. Seorang eks Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah termuda dalan sejarah. Beliau mendapatkan suara terbanyak dari warga persyarikatan didalam pemilihan calon Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Setelah sukses memimpin Muhammadiyah. Amin Rais, pun menggeliat kedalam ruang politik praktis. Mendirikan Partai Amanat National, dan sukses membawa partainya kedalam kursi parlemen di gedung kura kura, Senayan. Namun, seiring berjalannya waktu, Amin Rais, singkirkan oleh besannya sendiri, Zulkifli Hasan (Ketum PAN).