Lihat ke Halaman Asli

Aswin

Setiap waktu adalah kata

Paguyuban Putra Kemanusiaan

Diperbarui: 19 Februari 2023   10:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto : Dokumemtasi PPS/Ilustrasi

Membangun kesadaran persoanal bukanlah suatu perkerjaan mudah. Apalagi membangun kesadaran secara kolekstif, atau sosial. Membangun kesadaran produktif adalah sangat dianjurkan dalam ajaran agama samawi, terutama agama Islam. Kita bisa membaca Surat Cinta-Nya : "Sesungguhnya manusia itu benar benar merugi dalam kehidupannya, terkecuali orang orang yang beriman, beramal shaleh, dan saling menyadarkan dalam kesabaran". (Quran).

Untuk dapat membangun kesadaran produktif itu, maka dibutuhkan suatu pengenalan terhadap ruang dan waktu dalam kehidupan kita manusia. Jika kita tidak sadar atas keberadaan atau kehadiran ruang dan waktu itu, maka kita manusia dapat dipastikan  akan mengalami keterasingan, keterpisahan, dan kerugian dalam kehidupan.

RUANG KEMANUSIAAN

Ketika mendengar atau berbicara mengenai ruang, maka pikiran kita pun seketika akrab dengan istilah ruang segi tiga, ruang segi empat, dan ruang empat dimensi. Diluar hal itu, kita pun lumayan awam dan tak mengetahui atau menyadarinya. "Apakah ada ruang ruang lain, " demikian tanya kita membathin. Sesungguhnya diluar ruang ruang yang kita pelajari sewaktu disekolah, , terdapat ruang ruang lain. Bahkan ruang ruang itu, diketahui relatif sangat tidak terbatas dan universal sifatnya. Misalnya, ruang langit dan ruang bumi, ruang daratan dan ruang lautan, dan seterusnya, terutama ruang yang relatif sangat sensitif bagi kehidupan kita manusia didunia. Yakni, "Ruang Kemanusiaan".

Sebagaimana dipahami oleh seorang antropolog, Ernet Casirrer, dalam sebuah bukunya yang sangat fenomenal "An Essay On Man, diterangkan : "Bahwa ruang dan waktu adalah bingkai kehidupan. Didalamnya segala realitas kita hadapi". Dengan kata lain, dalam kehidupan semesta ini, tidak ada ruang hampa makna dan kosong peristiwa, melainkan ruang ruang yang terisi dan dipenuhi oleh pelbagai peristiwa dan makna kehidupan didalamnya. Misalnya, didalam ruang ruang itu, (secara sadar atau tidak) kita akan bersentuhan dengan kepentingan kepentingan individu, kelompok dan seterusnya, sehingga (terkadang) kepentingan kepentingan yang dihasilkan atau dilahirkan oleh kita manusia itu, cenderung tidak produktif dan dapat merusak tatanan sosial-kemanusiaan.

Foto : Dokumentasi PPS/Ilustrasi

Seperti halnya negara negara lain, negara Indonesia bukanlah suatu negeri hampa, kosong, dan tanpa makna. Negara Indonesia bukan merupakan benda mati yang diukir dengan ingatan masa lampau yang gemilang, melainkan ia suatu realitas yang hidup. Dan kita sebagai generasi yang melanjutkan cita cita para pejuang dan pendiri negara (Indonesia) memiliki tanggung jawab bersama untuk memberdayakan dan mencerahkan bangsa dan negara. Dan bukan sebaliknya, memperdayakan dan menggelapkan bangsa dan negara untuk mengejar kepentingan pribadi dan kelompok. Kita (sesungguhnya) tidak menginginkan adanya penindasan manusia terhadap manusia. Namun hal itu, tidak dapat kita hindari dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, lantaran begitu kuatnya tarik menarik antar kepentingan pribadi dan kelompok. Sehingga hilangnya aspek kemanusiaan dalam diri kita sebagai manusia.

Memgamati fenomena kemanusiaan yang berkelindan di republik ini, tampak suatu wajah baru bernama Paguyuban Putra Suakamulia (PPS), yang digagas oleh seorang tokoh masyarakat yang memiliki latar belakang akademisi hukum, Sharif Bustaman. SH, MH. Melalui latar belakang itu, Sharif Bustaman, berusaha membagun latar depannya, dengan membuat program program kegiatan sosial-kemanusia, khususnya, diwilayahnya. Dan program program kegiatannya sudah berjalan dan dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar wilayah, seperti program kesejahteraan rakyat (membantu meringankan beban warga yang sakit dan keluarga yang meneninggal dunia anggotanya). Tidak hanya berkembang diwilayah sekitar. Paguyuban Putra Sukamulia pun sudah mengibarkan benderanya keluar daerah, seperti membantu meringankan beban warga masyarakat yang terkena dampak letusan Gunung Merapi di Semarang, Jawa Tengah, dan korban gempa Cianjur, Jawa Barat. 

Kita bangsa Indonesia membutuhkan wajah wajah baru suatu paguyuban, komunitas atau lainnya, yang pure untuk kepentingan sosial-kemanusiaan. Dan bukan untuk kepentingan pribadi, golongan dan partai politik, sehingga warga masyarakat atau rakyat yang membutuhkan dan menerimanya dengan sukarela-ikhlash lahir dan bathin. 

"Dan hendaklah kalian menjadi suatu golongan yang mengajak orang untuk berbuat kebaikan, dan memcegah kemungkaran,  " demikian Sang Cinta Ber-Tutur dalam Surat Cinta-Nya. (Quran) 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline