Memanglah, Ibukota Negara Indonesia, Jakarta, tidaklah seluas dan semegah Ibukota (baru) Nusantara di Kalimantan timur, kelak. Namun, menurut keyakinan seorang budayawan betawi, Ridwan Saidi, Jakarta, akan tetap menjadi Ibukota Negara. Karena (Jakarta) memiliki kandungan struktur sejarah dan struktur geografisnya yang begitu kuat. Beliau pun memberikan apresia kepada tiga gubernur Jakarta, yakni gubernur yang dipimpin oleh warga keturunan Belanda, Ali Sadikin, dan Anies Baswedan.
Kita boleh saja mengkritisi dan juga tidak sependapat dengan pandangan dan penyampaiannya diruang publik (program acara ILC). Namun akan menarik jika kita mengulik mengenai sejarah kebudayaan di Indonesia, khususnya di Jakarta. Jakarta, memiliki banyak tangan. Dan diitangan seorang Gubernur Ali Sadikin, Taman Ragunan Taman Saleh, Jakarta, disulap menjadi suatu tempat atau ruang seni dan budaya Taman Ismail Marzuki. Dibangunnya ruang apresiasi seni dan budaya itu adalah bukan dengan cuma cuma. Tetapi, Ali Sadikin, memiliki suatu harapan dan cita cita terkait dengan ruang seluas sembilan hektar yang dibangunnya itu, kelak akan menjadi pusat kegiatan seni dan budaya Indonesia. Sehingga tidaklah mengherankan jika tempat seni dan budaya itu diberi nama Taman Ismail Marzuki, nama seorang komposer musik besar dan terkenal tanah air dan dunia. Salah seorang diantaranya ialah penyair dan dramawan WS. Rendra, yang sempat mencicipi kemegahan ruang estetik itu, sekitar tahun 60-an, atau 70-an.
SELASAR IMAJINER
Seiring berjalannya waktu, perubahan pun ikut menyesuaikannya, baik dari struktur kepemimpinan di pemerintahan Provinsi DKI jakarta, maupun pada struktur bangunannya, termasuk pada struktur pada bangunan fisik Taman Ismail Marzuki di Cikini, Jakarta pusat. Struktur bangunan fisik Taman Ismail Marzuki, ditangan seorang Gubernur Anies Baswedan, terkesan atau terlihat (relatif) lebih futuristik dan artistik. Dan membuat pengunjung lebih nyaman dan tertarik untuk mengabadikan dirinya dalam bentuk foto, video, dan lainnya.
Sebagai ruang apresiasi seni dan budaya publik, maka sudah seyogyanya pengelola Taman Ismail Marzuki, dituntut atau diuji akan kemampuannya dalam menggugah kesadaran publik seni (khususnya) dan publik luas (umumnya) untuk datang berkunjung, menyaksikan pagelaran seni dan budaya yang dihadirkan, seperti kegiatan seni sastra, seni rupa, seni musik dan seni teater.
Selasar. ketika saya pertama kali berkunjung masuk kedalam bangunan baru Taman Ismail Marzuki, sempat nyasar dari radar selasar, lantaran mengambil jalan menuju masuk lain. Dan pengalaman itu pun hanya sebentar. Selanjutnya, terjalin keakraban dengan tempat tempat atau ruang ruang apresiasi seni dan budaya. Usai masuk waktu shalat maghrib, ruang terbuka, selasar, tampak menyala di acara Senja Berpuisi. Lampu lampu puisi pun kembali menyala dan dinyalakan oleh para penyair, termasuk oleh seorang penyair Sutardji CB, atau lebih akrab disapa dengan Presiden Penyair Indonesia. Meskipun usianya sudah memasuki senja. Namun semangatnya tetap menyala terpelihara. Dan hal itu, diungkapkannya dalam Kegiatan Acara Senja Berpuisi, dengan bernyanyi dan berpuisi.
Negara ini. Bangsa ini. Dilahirkan dari rahim puisi. Puisi adalah ibu negara dan juga ibu bangsa ini. Demikian Sutardji, menjelaskan makna sejarahnya kepada publlik seni di Selasar Senja Berpuisi. Berbicara puisi adalah juga berbicara tentang imajinasi, inheren. Negara Indonesia dan juga bangsa Indonesia adalah suatu imajinasi. Bilangan imajiner. Sumpah Pemuda dengan semangat penyatuan : Bertanah air satu-Tanah air Indonesia, Berbangsa satu-bangsa Indonesia, dan berbahasa satu-bahasa Indonesia adalah suatu bilangan imajiner (belum terjadi atau belum lahir). Dan seiring berjalannya waktu, bilangan imajiner itu pun berubah menjelma menjadi suatu bilangan concrete-nyata : Menjelma tanah air, menjelma bangsa, dan menjelma bahasa-Indonesia. Indonesia merdeka menjadi negara satu kesatuan, dari sabang sampai merawke.
Serupa halnya pandangan Ridwan Saidi, tesisnya seorang Sutardji CB pun identik. Karena dalam ruang dialektika, suatu tesa dan antitesa, serta sintesa masing masing memiliki hak untuk hidup dan bercerita. Namun yang jelas, baik secara implisit maupun eksplisit puisi sebagai ibu yang telah melahirkan negara dan bangsa ini, perlahan dan pasti tengah mengalami nyeri pada sendi sendi dan pengeroposan pada tulang tulang kehidupannya. Kini, negara telah berubah menjadi alat kepentingan dan kekuatan kapitalis dan oligarkis. Satu dan persatuan pun mengalami kemunduran, kerapuhan dan perpecahan. SARA telah menghiasi wajah puisi kebangsaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H