Lihat ke Halaman Asli

Aswin

Setiap waktu adalah kata

Kota Terperangkap Zaman

Diperbarui: 27 Januari 2022   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(foto : wallpaperbetter.com/ilustrasi)

Jika berbicara tentang Kota, seketika teringat dengan Yunani sebelum masehi, terutama dengan seorang filosof Plato. Plato, secara khusus membahas mengenai Kota-Negara ideal bagi ummat manusia didunia. Kita bisa membaca pikiran pikiran atau ide idenya : Bagaimana seorang Plato, menggambarkan secara deskriptif mengenai Kota yang ada dalam gagasan-idealnya. Namun gagasan Plato tersebut, dianggap (antitesa pemikirannya)  sebagai suatu utopia, cita cita yang mustahil mewujud nyata dalam kehidupan manusia didunia. 

Seiring berjalannya waktu, kota kota didunia semakin pesat dan maju perkembangannya. Apalagi setelah revolusi industri terjadi di Inggris, dan hingga sekarang masih berlangsung. Revolusi industri telah berhasil mengganti kemampuan otot manusia dan hewan dengan mesin-teknolgi. Revolusi teknologi telah berhasil menghadirkan dan memanfaatkan tenaga tak bernyawa secara sistematis dan khusus.

Namun demikian,  revolusi industri telah membuat kita kembali terperangkap pada persoalan yang identik (kontekstual). Adanya ledakan penduduk menyebabkan kita manusia tidak mampu melarikan diri dari kehidupan kota atau dari perkerjaan pabrik dan kantor.  Dengan jumlah penduduk yang menigkat itu, kita ummat manusia akan mati kelaparan jika kita kembali ke cara hidup sebelumnya, yang dalam setiap hal dilakukan dengan teknologi yang kurang efisien, namun secara spiritual (mungkin) lebih memuaskan. Kita bisa membaca sejarahnya, Mahatma Gandhi, dalam proses perjuangannya mempertahankan tradisi dan kebudayaan di India dari penetrasian (kebudayaan barat) teknologi dan kapitalisme.

Manusia telah merombak lingkungan alamnya agar cocok dengan kebutuhannya. Manusia telah menguasai alam, namun dengan cara menjadikan dirinya budak dari lingkungan baru buatannya sendiri. Dengan kata lain, prestasi manusia untuk alam bukan manusia harus dibayar dengan pengorbanan berupa memperbudak diri sendiri dilingkungan buatannya (manusia) yang baru, sehingga pengen menyulap apa saja yang ada disekelilingnya. 

IBUKOTA SIAPA 

Sejak runtuhnya rezim orde baru, dan berubah memasuki orde reformasi,  Indonesia telah menjadi tontonan menarik dan gratis. Apalagi setiap memasuki pemilu, pemilihan legeslatif, presiden dan wakil presiden,  serta pilkada diseluruh Indonesia, lumayan banyak para pengusaha nasional (oligarki) maupun pengusaha global (kapitalis) yang menanamkan investasi politiknya. Maklum, biaya untuk perhelatan dan kampanye pemilu memakan anggaran super jumbo. Dan partai politik tak sanggup membiayai pesta demokrasi tersebut, dan terpaksa elit politik partai pun menerima para investor politik dengan sejumlah perjanjian yang lumayan sangat mengikat kedepannya (5 hingga 10 tahun).

Dan perpindahan ibukota negara dianggap bagian dari kepentingan politik-kekuasaan oligarki. Dan bukan kepentingan rakyat Indonesia. Perpindahan Ibukota Negara, dari Jakarta ke Kalimantan adalah suatu hal yang lumayan sangat sulit dipahami (reasonable) struktur sejarahnya. Jika membaca struktur sejarah perpindahan ibukota negara (Aceh,  Sumatera Barat, Yogyakarta,  dan Jakarta) di masa kepemimpinan Soekarno, adalah suatu hal yang mendesak, lantaran politik penjajahan, menghindari agresi militer Belanda. Sehingga lumrah jika banyak kalangan yang meragukan dan mengkhawatirkan akan terjadinya perpindahan ibukota negara. Apalagi diketahui, untuk membangun Ibukota Negara Nusantara menggunakan dana APBN. Karena didalam dana APBN itu terdapat anggaran program kesejahteraan rakyat dibidang sosial,  pendidikan, lingkungan, kesehatan, dan lainnya. Exampleir: Lumayan sangat menggelitik tawa menyaksikan harga pupuk dan minyak sayur merangkak naik dan langka dipasaran. Rakyat dibuat tak berdaya dan sengsara untuk mendapatkannya. 

Perpindahan Ibukota Negara adalah bukan keinginan rakyat Indonesia, meskipun di klaim telah mendapatkan persetujuan dari dari DPR RI. Rakyat hanya menginginkan akan adanya kepastian hukum disegala aspek, baik aspek sosial, politik,  ekonomi dan seterusnya. Rakyat merasakan kedaulatan negara sudah direduksi menjadi kedaulatan oligarki, kaum pemodal, kaum pengusaha. Pertaubatan seorang Karl Marx, "Bahwa negara tak boleh kalah dengan kapitalis", sudah terlambat (sia sia) dan sudah berada dalam tenggorokan sakratul maut, seperti taubatnya seorang Fir'aun. 

"Pergi ke Timur,  tanah tanahnya diaspali emas,  "demikian seru Adam Smith, kepada pengikutnya. Para kapitalis, cukong, pemilik modal, dan oligarki, benar benar memahami seruan Adam Smith tersebut. Mereka berusaha mencari dan membuka ruang kapital disejunlah negara, tak terkecuali Indonesia,  dengan kekayaan alamnya yang berimpah dan surgawiyah. "Tongkat kayu bisa berubah menjadi tanaman, "demikian Koes plus menyenandungkan tentang Indonesia yang subur dan kaya raya. Mereka pun beramai ramai melakukan investasi sebesar besarnya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, terutama investasi dibidang politik dan kekuasaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline