Lihat ke Halaman Asli

Kemiskinan (yang) Membumi, Kekayaan (yang) Melangit

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada catatan kali ini, saya ingin berbagi tentang kemiskinan, tiba-tiba seorang sahabat mengingatkan saya tentang kekayaan. Saya berpikir, di dunia ini banyak orang miskin dan tentu juga ada banyak orang kaya yang jumlahnya tidak sebanding dengan kemiskinan. Saya pernah menyebut diri saya sebagai orang yang miskin, hingga saya menganggap bahwa saya adalah orang yang paling miskin di kampung saya. Ya, untungnya hanya di kampung bukan di dunia. Maklumlah, manusia seperti saya, bila tidak disebut miskin, justru malu disebut sebagai orang kaya. Kenyataannya memang saya miskin walau tidak sampai miskin berkarat alias melarat.

Anda miskin? Sama miskinnya dengan saya? Ah, serius? Mari bandingkan harta kemiskinan saya dengan harta kemiskinan Anda. Saya punya rumah yang saya kontrak dari pemiliknya. Saya punya kendaraan yang bebas saya gonta ganti sekalipun itu milik sopir angkutan umum. Saya punya pesawat yang kalau mengendarainya saya bebas memilih tiket jenis apa yang mau saya pakai sekalipun pesawat-pesawat itu terus diparkirdi bandara. Apakah Anda juga memiliki harta kemiskinan seperti yang saya sebutkan itu?

Masih belum yakinkah Anda bahwa saya memiliki harta kemiskinan yang luar biasa banyak, bahkan bertumpuk-tumpuk yang saya hasilkan dari usaha kedua tangan, kedua kaki, dan kedua mata saya? Sebut saja kendaraan (tadi), pakaian dan seragam yang wangi, sahabat-sahabat yang cemerlang, sekolah sampai jenjang perguruan tinggi, hingga pikiran yang dapat mengontrol cara saya berpikir, berperilaku, dan bertindak dalam segala keadaan. Nah, pada bagian ini Anda tentu setara dengan saya. Anda tentu tidak kalah dengan apa yang saya sebutkan tadi.

Dengan demikian, saya pun bisa menarik kesimpulan bahwa saya, Anda, dan masyarakat Indonesia yang notabene adalah masyarakat konsumtif merupakan orang-orang yang memiliki harta kemiskinan yang banyak. Sehingga, tidak seorang pun yang dapat memvonis kita sebagai orang miskin, miskin berkarat, bukan?

Atas dasar itu pula, maka “HARAM” hukumnya bila kita menyebut diri sebagai orang miskin di hadapan Allah karena Allah telah menganugerahkan segala fasilitas yang kita inginkan untuk mencukupi kebutuhan hidup kita, untuk kebutuhan dunia dan untuk pemenuhan kebutuhan akhirat yang juga wajib kita usahan sendiri dengan dan atas dasar bimbingan dari Allah sebagai Pencipta. Kata HARAM sengaja saya tandai dengan petik agar Anda tidak salah tafsir.

Salah satu firman Allah menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat sedikit mensyukuri nikmat-Nya. Manusia banyak mengeluh yang menyebabkan mereka kurang syukur bahkan menjadi kufur, kufur nikmat. Semoga saya dan Anda tidak demikian. Ya, semoga. Nah, apa yang menjadi poin utama catatan kecil ini? Sederhana saja. Silakan Anda baca alinea akhir berikut ini.

Kemiskinan (yang) Membumi. Di dunia ini, pada dasarnya kita adalah orang-orang miskin. Itu karena apa yang kita miliki adalah pemberian alias fasilitas yang Allah sediakan, agar kita bahagaia dengan pemberian itu, agar kita mengabdi sepenuhnya kepada-Nya, agar kita menjadi tahu diri bahwa nikmat-nikmat itu adalah sarana pendekatan diri kita kepada Allah. Pada tahap ini, bila kita tidak banyak bersyukur maka menjadilah kita sebagai orang-orang yang sangat miskin, miskin yang bertumpuk-tumpuk, dan (lagi) miskin berkarat. Jadi, seyogyanya, tidak ada kamus kesombongan dalam kepribadian kita.

Kekayaan (yang) Melangit. Menyambung alinea di atas, sebenarnya poin akhir ini merupakan gagasan cemerlang seorang sahabat yang “menasihatkan” kepada saya bahwa kekayaan itu bisa saja melangit bagi para pelaku kehidupan ini. Kita bisa disebut kaya bila kita melakukan kebalikan dari perilaku kemiskinan (yang) membumi tersebut. Kita menjadi manusia yang kaya bila kita banyak bersyukur sehingga kesyukuran itu membuat Allah berkenan menambahkan nikmat-nikmat-Nya yang banyak. Bahkan, pemberian nikmat yang banyak dapat kita peroleh hingga ke negeri kekekalan yakni akhirat. Dan jangan lupa, kita harus bearada dalam ruang lingkup kesalehan agar rasa syukur itu juga bernilai pahala. Kuncinya, bersyukurlah, niscaya semua akan menjadi indah pada akhirnya. Tapi ingat, syukur itu merupakan bagian kecil dari keimanan, jadi beriman dan bertakwalah hanya kepada Allah, bukan yang lain. Insya Allah, kita menjadi manusia yang kaya, kaya (yang) melangit, kaya (yang) mengakhirat.

Catatan kecil, diinspirasi oleh seorang sahabat. Semoga bermanfaat bagi para pembaca yang haus hikmah dan pembelajaran dalam mengarungi kehidupan yang singkat ini. Akhirnya, segala pujian hanya pantas dialamatkan kepada Allah SWT,Rabbi wa Rabbana. Terima kasih ya, Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline