Lihat ke Halaman Asli

Belum Melek IT

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah sandek lagi-lagi menyeruak masuk ke ponsel saya kemarin malam. Kalimat-kalimat yang indah memiliki makna yang dalam. Untuk memahami pesan tersebut saya merenung sejenak. Teman saya ini adalah seorang perempuan berdarah Bugis yang memang selalu mengirim kalimat-kalimat bernada motivasi atau sekadar lelucon.

"Cukup mudah untuk bersikap menyenangkan, jika hidup mengalir seperti lagu. Tetapi orang yang hebat adalah orang yang bisa tersenyum saat semuanya berantakan. Karena, ujian bagi hati adalah kesulitan, dan kesulitan selalu datang setiap waktu. Dan senyuman yang layak untuk disanjung adalah senyuman yang bersinar menembus air mata."

Me-replay sandek ini, saya hanya berfokus pada kalimat terakhir, "... senyuman yang bersinar menembus air mata". Bagaimana senyum yang menembus air mata? Balas saya.

Pertanyaan ini kemudian mendapat balasan yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ujung-ujungnya, dari respon short message saya itu mengarah pada kualitas guru. Mungkin anda bertanya, apa hubungannya antara pesan teman saya dengan kualitas guru? Emm, ke mana arah pembicaraan ini dan bagaimana jalan ceritanya? Silakan ikuti pariwara berikut ini J.

Diujung pesan singkat kami ini -karena berkali-kali dan terlalu panjang bila saya tuliskan semuanya di sini- saya tersentak ketika mengetahui bahwa teman saya semasa kuliah ini masih belum melek teknologi, khususnya belum akrab dengan internet. Saya meminta izin untuk membuat artikel berdasarkan sms-an kami beberapa waktu lalu dan memintanya untuk membaca ulasannya di salah satu website favorit saya.

Teman saya yang suka ngakak ini alias lucu-lucuan menjawab begini, "...tp aq gk eksis pak di bidang WEBSITE hakhakhak...." Barangkali dalam bahasa yang lebih formal begini: "tapi saya tidak eksis alias belum mahir berselancar melalui website". Sontak saya kaget dan me-replay lagi, "Kan bisa belajar...."

Untuk kasus ini, saya hanya berkaca pada diri saya secara pribadi. Sebelum berstatus mahasiswa saya juga belum bisa mengotak-atik komputer. Apalagi berselancar di dunia maya. Menyebut internet saja saya masih canggung. Pernah suatu waktu saya bertanya kepada seorang teman, apa maksudnya download. Nah, tahu sendirilah betapa gobloknya saya waktu ini, download saja tidak tahu apalagi yang lain. Saya tidak mau kalah, saya belajar otodidak. Menyempatkan diri ke warnet bahkan sesekali meminjam laptop teman untuk belajar. Berkali-kali. Hasilnya sangat jauh beda dari yang dahulu. Pernah juga tersentak, kaget ketika guru saya dulu di SMA meminta saya mengajarinya "bermain" komputer. Belum melek IT juga rupanya. Syukur, saya bisa melompat beberapa lompatan melampaui teman-teman saya. Bahkan kini bisa bermanfaat bagi orang banyak melalui teknologi informasi.

Kembali ke persoalan teman saya tadi yang juga seorang guru seperti saya. Mengenal bahkan mengakrabi dunia maya sudah seharusnya menjadi kebutuhan. Tuntutan zaman. Teknologi informasi dewasa ini menjadi salah satu sumber literatur terlengkap yang pernah ada. Tengok saja google, Wikipedia, dan lainnya, sumber-sember informasi yang tidak ada habisnya. Semua yang kita butuhkan perihal ilmu pengetahuan terbentang luas. Bahkan banyak yang menawarkan fitur-fitur gratis tepat guna. Asal jangan memanfaatkannya untuk ladang maksiat, menipu orang. Itu tidak terpelajar namanya, bahkan kurang belajar alias kurang ajar, dan tentunya perlu dihajar.

Sekarang ini, kalau masih ada guru atau tenaga profesional lainnya yang belum mahir komputer atau teknologi informasi, setidaknya ada beberapa kemungkinan sebagai penyebab. Pertama, tinggal di daerah terpencil yang tidak memiliki akses teknologi informasi. Kedua, masih ada anggapan "kan tidak harus bisa?". Ketiga, faktor kemiskinan. Jangan heran, "kadang-kadang" untuk mempelajari sesuatu itu butuh duit. Banyak orang di negeri kita ini, mengumpulkan uang seribu rupiah saja sangat susah. Dan yang terakhir atau keempat, dan ini yang menurut saya sangat dominan adalah mental pemalas alias tidak mau belajar.

Menutup tulisan sederhana ini, saya yakin anda sudah melek teknologi. Kalau belum, bisa jadi empat kategori di atas (wah, parah kalau begini) atau salah satunya merupakan faktor penyebabnya. Atau barangkali ada penyebab yang lain?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline