Lihat ke Halaman Asli

Penjahat yang Tak Mampir di Den Haag

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

BOM “Little Boy” jatuh pukul 8:15 di Hirosima. Pagi itu 6 Agustus 1945. Pesawat tempur Amerika Serikat (AS) Enola Gay terbang di atas Hirosima dengan pongahnya. Tiga hari kemudian, 9 Agustus, dijatuhkan bom "Fat Man" di atas Nagasaki. Kedua tanggal tersebut adalah satu-satunya serangan nuklir yang pernah terjadi. Bom ini membunuh 140.000 orang di Hiroshima dan 80.000 di Nagasaki pada akhir tahun 1945. Sejak itu, ribuan telah tewas akibat luka atau sakit yang berhubungan dengan radiasi yang dikeluarkan oleh bom. Pada kedua kota, mayoritas yang tewas adalah penduduk sipil. Enam hari setelah dijatuhkannya bom atom di Nagasaki, pada 15 Agustus, Jepang mengumumkan bahwa mereka menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Peristiwa pemboman Hirosima (dan Nagasaki) 65 tahun lalu tiba-tiba mengingatkan saya pada penjahat perang. Siapakah yang seharusnya disebut sebagai penjahat perang? AS adalah satu-satunya negara yang pernah menggunakan bom atom dalam perang dan sampai saat ini masih memiliki senjata nuklir. Ratusan ribu jiwa sipil tewas di Hirosima dan Nagasaki. Tak terhitung yang cacat dan hidup di bawah bayang-bayang radiasi radioaktif.  Namun AS tetap tidak tersentuh hukum internasional. Apalagi hukum perang. Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman yang memerintahkan pemboman tersebut, hingga akhir hayatnya tidak pernah dituntut sebagai penjahat perang. Berbebeda dengan Hideki Tojo. Tojo adalah jenderal Jepang dan menjadi Perdana Menteri Jepang ke-40 selama Perang Dunia II. Dia adalah tokoh penting di balik poros Jepang-Jerman-Italia. Oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh, ia dituntut sebagai penjahat perang. Tojo dinyatakan bersalah atas sejumlah tuduhan. Antara lain peperangan agresif melawan AS, Persemakmuran Inggris, Belanda, dan Perancis. Ia divonis mati pada 12 November 1948 dan menerima hukuman gantung karena perbuatan kriminal selama perang berada di bawah otoritasnya. Tojo dianggap juga bertanggung jawab membunuh hampir 4 juta orang-orang Tionghoa. Kembali ke kisah 65 tahun lalu, menurut akal sehat, apakah perintah pengeboman Hirosima dan Nagasaki di luar otortas presiden AS? Mengapa Truman tidak pernah dihukum? Padahal sebelum membom Hirosima dan Nagasaki, AS terlebih dahulu selama enam bulan pengeboman 67 kota lainnya di Jepang. Tidak banyak yang tahu kalau selama Perang Dunia II, AS, bekerja sama dengan Inggris dan Kanada, mengembangkan sebuah proyek pembuatan bom atom bernama “Manhattan Project”. Penelitian ilmiah ini dipimpin oleh fisikawan Amerika J. Robert Oppenheimer dan keseluruhan proyek berada di bawah kekuasaan Jenderal Leslie Groves, dari US Army Corps of Engineers. Dan sudah barang tentu semuanya ini atas pengetahuan Presiden AS Truman. Sulit dipungkiri, keadilan perang hanya untuk pihak tertentu saja (baca: AS dan kawan-kawan). Beberapa peristiwa kontroversi yang dilakukan AS tak terlihat sebagai kejahatan perang. Seperti perusakan target-target sipil yang dilakukan Amerika Serikat pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II, Perang Irak, dan Perang Afghanistan. Masih segar dalam ingatan publik bagaimana Presiden George W. Bush menegaskan serangan yang dilakukan AS ke Irak disebabkan oleh kepemilikan senjata pemusnah massal negara tersebut. Kini, mana senjata pemusnah massal itu? Kalau Saddam Hussein berhasil mereka tangkap dan eksekusi di Irak (dengan tuduhan kejahatan perang), lalu mana Osama bin Laden yang menjadi alasan AS menginvasi Afghanistan? Demikian pula apa yang dilakukan Israel dalam perang Lebanon tahun 2006. Lembaga pemantau hak asasi manusia Amnesti Internasional menyatakan Israel telah melakukan kejahatan perang dengan sengaja menyerang infrastruktur sipil dalam agresi di Lebanon Selatan. Amnesti Internasional melihat ada pola-pola yang menunjukkan pengeboman terhadap infrastruktur bukanlah hal yang kebetulan. Temuan tersebut diperkuat pula dengan wawancara para pejabat dari militer Israel, pemerintah Lebanon dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Juga serangan Israel atas Gaza dari 27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009. Organisasi Human Right Watch menuduh Israel menggunakan secara disengaja bom fosfor putih ke wilayah-wilayah berpenduduk. Akibatnya, bom-bom ini membunuh dan melukai banyak warga sipil, selain menghancurkan sejumlah bangunan termasuk sekolah, masjid, rumah sakit dan gudang bantuan kemanusiaan milik Badan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina. Mantan Presiden AS George W. Bush, Perdana Menteri Inggris Tony Blair, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni, Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak, juga sekutu AS lainnya tampaknya tidak akan pernah menjadi penjahat perang. Apalagi untuk sekedar mampir di Den Haag (Belanda) dan duduk di kursi pesakitan Pengadilan Kejahatan Internasional. Jauh panggang dari api.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline