Lihat ke Halaman Asli

Astri Syafitri

Aku mencoba

Jangan Lupa Bercermin

Diperbarui: 11 September 2018   23:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Mengapa manusia perlu bercermin? Untuk mematutkan penampilan pastinya. Mengkondisikan alis tidak miring sebelah, bedak tidak cemong, tidak ada cabe yang nyelip di gigi, atau memastikan uban masih minoritas di kepala dan banyak lagi tujuan bercermin. Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan oleh DailyMail, rata-rata perempuan bercermin setidaknya 8 kali dalam sehari. Kamu setuju?

Bercermin tidak hanya memastikan penampilan fisik saja, sejatinya bercermin juga bisa menjadi media pengenalan diri sendiri. Bahkan pada saat bercermin, disunnahkan membaca doa:

Bahkan kita meminta kepada Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak dahulu. Refleksi dan visualisasi diri pada saat bercermin, memberikan kesempatan kepada diri sendiri untuk lebih mengenal diri kita tidak hanya fisik tapi juga kepribadian diri sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, dalam bergaul dengan teman, atau dalam relasi bekerja, disadari atau tidak, acap kali ditemukan orang yang memandang remeh terhadap orang lain atau ngaku saja, kita juga sering melakukannya. Kalimat-kalimat ringan yang diucapkan, tapi sangat menyakitkan jika didengar apalagi diulang. 

Lidah memang tidak bertulang. Ucapan mohon maaf lahir batin di kala perayaan Idul Fitri, seakan bisa menghapus dosa yang diperbuat setahun. Penilaian minus terhadap seseorang bisa menyangkut fisik, kelakuan, bisa juga otaknya ataupun cara bekomunikasinya. Bisa jadi kita menganggap kelakuan si A minus, padahal orang lain menilai hal berbeda terhadap kelakuan si A. Mata uang selalu punya dua sisi. Sudut pandang itu tidak hanya mutlak milik satu orang.

"Percuma sekolah tinggi-tinggi , masak begini saja tidak bisa", gerutu seorang penumpang Kopaja 88 jurusan Kalideres. Ntah dia sedang memaki siapa, tidak kenal juga dengan penumpang tersebut, hanya saja mendengarnya membuat tidak nyaman. Energi negatifnya ikut dirasakan penumpang kopaja lainnya yang tanpa bisa dihindari ikut mendengar gerutuan si penumpang tadi. Itu salah satu contoh keseharian manusia yang merasa berhak menilai orang lain.

Kita seakan lupa, pada saat kita menilai orang lain, di saat yang sama orang lain juga sedang menilai kita. Kita menganggap rendah orang lain, bukan karena memang dia lebih rendah, bisa jadi kita memposisikan diri kita terlalu tinggi. Kita berpikir diri kita hebat, kompeten dan punya segalanya. Hidup tidak sendiri, kita butuh orang lain untuk membantu kehidupan kita. 

Dari lahir pun, tidak ada bayi yang mandiri. Untuk keluar dari rahim ibunya yang nyaman, dia butuh berjuang, dan butuh bantuan Dokter atau Bidan ataupun Dukun Bayi untuk mengeluarkannya, serta sangat bergantung pada usaha si Ibu untuk mengejan mengeluarkannya. Bayangkan jika tidak ada kerja sama antar ketiganya. 

Di akhir hidup kita pun, kita butuh orang lain untuk memandikan, mengkafani, mensholati, memikul keranda dan mengantarkan kita ke pemakaman untuk kemudian ditinggal di dalam tanah untuk selamanya.

Jika dipikir-pikir, betapa tidak mandirinya manusia itu. Kita datang ke dunia tidak membawa apa-apa, begitu juga pada saat kita kembali ke pangkuan-Nya. Tidak ada yang layak untuk kita sombongkan sebenarnya, kecuali kalo pada saat nantinya meninggal, bisa mengantarkan diri sendiri ke pemakaman. 

Tapi tetap saja tidak sedikit orang merasa lebih berhak menilai orang lain hanya karena jabatannya atau karena kekayaannya juga kesempurnaan fisiknya. Jika jabatan itu keberuntungan, mungkin iya para pemangku jabatan itu lebih beruntung, tapi jika jabatan itu adalah lebih banyak mudaratnya, harusnya belas kasihan seutuhnya kita berikan kepada mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline