Lihat ke Halaman Asli

Astri Rahayu

Philanthropist

Kecap dan Mi Instan

Diperbarui: 22 April 2020   01:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Dok. Merdeka.com)

Sekitar tahun 2016 saya pernah mengajar di Frenz United Football Club, salah satu sekolah sepak bola yang bermarkas di Malaysia dimana terdapat beberapa anak2 Indonesia yang mendapat beasiswa untuk bersekolah  disana. Diantara waktu-waktu utama yang mereka gunakan untuk berlatih fisik dan teknik bermain bola, manajemen memberikan mereka waktu dua jam setiap harinya untuk belajar di kelas membahas materi-materi pelajaran umum. 

Nah, ketika waktu istirahat tiba biasanya anak2 ini langsung berhamburan ke kantin untuk makan siang. Jangan ditanya soal porsi makan mereka. Terbayang apa jadinya saya kalau saya makan dengan porsi mereka yang menunya sangat lengkap dan full portion. Kalau saya makan porsi mereka, bisa jadi saya baru akan makan lagi besok siangnya. 

Suatu kali saya pernah ikut makan siang bergabung dengan mereka di kantin. Saya makan dengan menu yang sama dengan mereka tapi tentu saja dengan porsi yang jauh berbeda. Terlihat porsi makan saya seperempat porsi makan mereka. Suapan pertama masuk mulut...hmmm, kurang asin. Suapan kedua...hmmm, kurang gula. Untung porsi makan saya sedikit, jadi saya bisa habiskan makanan yang menurut saya hambar ini dengan cepat. Tapi anehnya anak-anak itu tetap makan dengan lahapnya. Padahal jelas-jelas masakannya kurang garam. 

Usut punya usut ternyata menu masakan buat para calon pesepak bola profesional ini memang diolah dengan mengurangi rasa garam, gula dan penyedap lainnya untuk menjaga kondisi dan stamina mereka agar tetap prima. Mereka memang dilarang mengkonsumsi makanan yang mengandung pengawet. Sayuran dan ikan yang dimasak adalah sayuran dan ikan segar bukan ikan yang dikalengkan. Itu sebabnya jangan harap menemukan kecap atau mie instan di meja makan. 

Memang terkadang ada saja anak yang melanggar aturan. Diam-diam mereka menyimpan kecap di asrama dan ketika waktu makan tiba mereka bawa kecap itu ke kantin untuk menyedapkan makanan. Tidak sedikit dari mereka yang ketahuan menyembunyikan kecap dan mie instan di asrama. Jika mereka kedapatan menyimpan kedua benda berharga itu, pelatih dan kepala asrama akan langsung menjatuhkan hukuman. Tidak tanggung-tanggung, mereka diwajibkan lari 10 kali mengelilingi lapangan bola dan push up 100 kali.  

Kenyatannya hukuman itu tidak membuat mereka kapok. Kecap dan mie instan memang menjadi benda yang  berharga dan paling dicari. Bahkan menurut mereka ada yang pernah sampai berusaha menyelundupkan kedua benda itu masuk ke asrama. Bagaimana caranya? Jika hari libur tiba dan sedang tidak ada jadwal latih tanding, mereka biasanya akan bermain ke pusat kota untuk sekedar cuci mata. Kesempatan ini biasanya oleh beberapa anak  digunakan untuk membeli kecap dan mie instan.  

Tentu saja cara ini kurang berhasil karena setiap selesai berlibur dan kembali ke asrama, kepala asrama akan mengecek barang-barang yang dibeli oleh anak-anak itu dan pasti akan menyita kecap dan mie instan jika ada anak yang kedapatan membawa kedua benda itu. 

Banyak jalan menuju Roma. Peribahasa  itu yang mungkin dipakai anak-anak bola itu untuk mendapatkan kecap dan mie instan yang sudah dianggap sebagai barang mewah bagi mereka. 

Biasanya ada orang kampung yang mau diajak kerjasama membelikan kecap dan mie instan. Setelah berlatih sore hari, akan ada orang kampung yang mengambil kantok plastik berisi uang yang digantungkan di pagar pembatas lapangan bola yang memang berbatasan dengan lahan penduduk. Keesokan harinya, di jam yang sama mereka akan menggantungkan kembali kantong plastik semalam yang isinya telah berganti rupa menjadi kecap dan mie instan. 

Begitulah, disaat di belahan dunia yang satu kecap dan mie instan hanya menjadi benda pelengkap yang kadang diabaikan, di belahan dunia yang lain kecap dan mie instan menjadi barang mewah yang nilainya seharga dengan lari 10 kali lapangan bola dan 100 kali push up. 

Cerita ringan di tengah pandemi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline