Demam Berdarah (DBD) merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan serius di Asia Tenggara. Penyakit ini dikatakan berbahaya karena dapat mengakibatkan kematian terhadap orang yang terjangkit. DBD merupakan penyakit menular akibat virus dangue yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti. Di Indonesia sendiri, kasus DBD telah tersebar di 34 provinsi dan setiap tahunnya pasti terdapat kasus. Salah satu provinsi dengan kasus DBD yang tinggi adalah DIY.
Yogyakarta merupakan kota yang memiliki tingkat kepadat penduduk yang tinggi. Menurut Pemerintah kota Yogyakarta, peningkatan kasus demam berdarah setiap tahunnya dipengaruhi oleh faktor curah hujan yang tinggi dan rapat, sehingga mengakibatkan populasi nyamuk Aedes aegypti mengalami peningkatan. Selain itu faktor kebersihan juga sangat dipengaruhi terhadap perkembangan nyamuk Aedes aegypty. Salah satu daerah di jogja yang memiliki kondisi lingkungan yang kurang bersih dan memiliki paparan kasus demam berdarah yang cukup tinggi adalah daerah di sekitaran TPST Piyungan,Bantul. Menurut data kasus DBD di Yogyakarta pada tahun 2020, hingga bulan Mei terdapat 235 kasus di kota jogja, 859 kasus di bantul, 177 kasus di kulonprogo, dan 857 kasus di gunungkidul. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kasus tertinggi penyakit demam berdarah yang terdapat di provinsi Yogyakarta terjadi di daerha Bantul yang merupakan daerah sekitaran TPST Piyungan.
Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang ditularkan oleh hewan vektor yaitu nyamuk Aedes aegypti betina kepada pejamu (orang yang diserang). Biasanya nyamuk betina telah terpapar dari pejamu yang telah mengalami demam berdarah, kemudian ditularkan lagi kepada pejamu lainnya. Apabila orang yang tertular tersebut tidak memiliki kekebalan tubuh, maka virus dapat menyerang sel pembeku darah dan merusak kapiler darah sehingga dapat mengakibatkan orang tersebut kekurangan cairan. Menurut Soedarto (2007) virus Dengue tergolong dalam arbovirus grup B dengan genus flavivirus, famili flaviviridae. Kasus DBD yang terjadi di Yogyakarta khususnya di daerah Bantul hampir setiap tahunnya mengalami peningkatan. Menurut DINKES Bantul, puncak kasus DBD tertinggi terjadi pada tahun 2016 dengan jumlah kasus 2442 dengan angka kematian 4, kemudian pada tahun 2017 kasus menurun menjadi 538 dengan angka kematian 2, pada tahun 2018 kasus menurun kembai menjadi 182 dengan 0 kematian, pada tahun 2019 terjadi peningkatan yang drastis kembali menjadi 1.424 kasus dengan 4 kematian, dan pada tahun 2020 kasus DBD mengalami sedikit penurunan menjadi 1.137 kasus.
Dengan meningkatnya kasus DBD setiap tahunnya, maka perlu dilakukan cara untuk menurunkan angka penularan nyamuk Aedes aegypti. Hal yang perlu dilakukan adalah mengadakan penyuluhan yang terjadwal rutin kepada masyarakat mengenai penyakit DBD, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat agar selalu menjaga kebersihan lingkungan. Kemudian memonitoring pemberantasan sarang nyamuk dengan lintas sektor 2 minggu sekali, dan dilakukannya Fogging secara teratur dan terjadwal. Lalu, terdapat cara baru untuk menangandi kasus DBD ini dengan menggunakan Wolbachia. Wolbachia merupakan genus bakteri yang hidup sebagai parasit pada hewan artropoda. Penggunaan Wolbachia ini dapat mengendalikan nyamuk Aedes aegypti sehingga pengakit DBD dapat dikendalikan. Walaupun pengendalian ini masih dikatakan baru, namun pada suatu penelitian memiliki hasil adanya dampak Wolbachia terhadap Aedes aegypti dan virus dangue, sehingga cara ini diharapkan dapat dimanfaatkan lebih lagi dalam menangani kasus demam berdarah yang ada di Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H