Lihat ke Halaman Asli

Sang Warna Pembawa Berita

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terpaku pada wanita yang sedang asik dengan keramaian. Sesaat aku berpikir seperti mengenali wanita itu. Perlahan aku dekati dia seiring rasa penasaranku yang semakin menggelitik pikiran seolah membuatku kembali mengingat siapa dia.

Ya, aku kenal dia. Dia seorang wanita manis berambut lurus pajang, memiliki tubuh tinggi, dan alangkah tenang bagi setiap orang yang menatap indah matanya. Aku menatapnya seperti berbeda, entah apa yang membuatku mencari perbedaan dari dirinya. Kali ini aku melihat wanita yang sama tapi dengan rupa fisik yang berbeda dari biasanya.

Diam-diam sering aku perhatikan sikapnya yang hari demi hari semakin membuatku bingung. Dimana dirinya yang ceria? Dimana diri yang sering membagi tawa lucunya? Kadang kala tawanya sekarang hanya untuk menutupi kesedihan yang terpendam. Kadang kala pula keceriaan yang ia tunjukan hanya untuk membuat orang disekitarnya berpikir bahwa tidak ada yang janggal dengan dirinya.

Ingin sekali aku menghampiri disuatu pagi saat ia tiba-tiba terjatuh lemas di koridor kampus. Saat itu membuat aku yakin kalau ia memang mempunyai rahasia yang tak aku tahu itu apa. Koridor itu sepi, aku urungkan niatku saat ia mulai berdiri perlahan. Dari kejauhan sungguh terlihat rasa sakit yang ia rasa. Wajahnya pucat pasi, ia meremas perutnya seolah ingin meringankan rasa sakit itu. Bibir itu bergeram gemetar dan aku hanya menutup mulut menahan teriakan tertahanku karena melihat bibir itu terlintas darah yang keluar saat ia terbatuk. Dia pun terlihat tak aneh saat melihat darah yang dibersihkan oleh tangannya.

Pikiranku bercabang ingin tau apa yang sedang terjadi. Aku ini teman dekatnya, apa sudah tak ada rasa nyaman lagi saat bercerita denganku? Ingin rasanya berbagi rasa sakit yang ia rasakan. Hati ku tak rela jika memang aku hanya menjadi teman saat ia senang, saat tak ada perasaan sakit yang terpendam.

Titik-titik kecil menyala menghiasi malam indah ini. Badanku berbaring menatap titik-titik kecil itu, ketenangan sejenak menghampiriku.

Hari-hari berlalu setelah kejadian di koridor. Sudah berhari-hari pula aku tak melihatnya. Mungkin hanya aku yang tau perubahan sikapnya akhir-akhir ini. Ah sudahlah, aku hanya bisa berharap tak ada sesuatu yang terlalu besar terjadi padanya.

Bendera kuning kali ini menjawab semua kebingungan yang ada. Apalagi yang harus aku tau kalau tubuh kaku ini sudah dihadapanku? Dan apalagi yang harus aku cari kalau semua sikap anehnya selama ini sudah terjawab?.

Berawal dari sebuah cerita singkat yang ia utarakan melalui sebuah kepingan digital yang kala itu diberikan oleh Nico, ia adalah adik keduanya yang kala itu dengan airmata di pipi memberikan benda itu kepada ku. Semua gelak tawanya, semua gaya lucu yang ia sampaikan saat berbicara, dan siapapun bisa dianggapnya sebagai seorang sahabat. Tapi sepertinya garis hidup berkata lain, sebuah hal yang merubah kehidupannya membuat kami mengerti betapa pentingnya arti kehidupan ini. Mulut kecil yang seolah terkunci rapat membuatku bertanya apa dibalik semua ini. Tawa yang semula menghiasi hari-harinya seolah menjadi airmata yang diteteskan setiap harinya. Memang ia tidak pernah mau rahasia kecil yang sebenarnya memiliki arti begitu besar itu menjadi sebuah cerita, bukan tak mau berbagi tapi ia tak mau melihat sahabat-sahabatnya merasakan apa yang ia rasakan.

Malam berganti senja dan begitu sebaliknya, ranjang putih serta beberapa jarum yang menghiasi sekujur tubuhnya seolah menceritakan pedihnya cerita yang ia simpan. Seakan sulit memandang cahaya matahari, apalagi memandang masa depan. Mungkin ungkapan itu lah yang tepat menggambarkan kondisinya saat ini. Satu persatu helai rambut yang jatuh seolah memberitahukan tubuhnya yang kini kian lunglai tak mampu menahan rasa sakit yang ia alami. Cahaya semakin redup, masa depan yang semakin terlihat kelam akhirnya membuat tubuh kecilnya menyerah pada takdir Tuhan.

Berselimut kabut hitam diiringi alunan tangisan yang seolah menjadi simponi dipagi itu menambah pedihnya sayatan luka akan kehilangan. Satu persatu langkah bergerak menjauh menghiasi pemakaman pagi itu. Dari kejauhan aku hanya berharap Tuhan membalas segala perbuatan baiknya di dunia, agar rasa sakit yang ia rasakan karena leoukimia seolah terhapuskan. Dunia hanya menjadi langkah awal kita ke dunia selanjutnya, Tuhan telah menggariskan hidup setiap manusia, selanjutnya bagaimana kita sebagai manusia melukiskan garis hidup yang telah ditakdirkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline