Judul tulisan ini selengkapnya sebenarnya harus ditambah : "dimata seorang Bapak Keluarga". Penulis ini, saya hanya seorang bapak keluarga, bukan anthropolog atau ahli budaya, yang akan menelaah Perubahan Zaman dan Alih generasi.
Bapak keluarga yang merasa dan peduli akan anak-anaknya serta melihat perbedaan gaya perilaku mereka. Sementara bacaan -bacaan perihal gaya hidup pun sudah banyak yang membahas tentang alih generasi.
Disana tampaknya ada ruang dan peluang peran penting sesederhana apapun yang namanya pendidikan didalam keluarga.
Sebuah Dialog antar sahabat, saya alami, dan catat karena mengesan...:. "Terima kasih Bang masih mau datang kunjungi saya teman yang bodoh ini. Kau yang dari dulu selalu rengking tentu sekarang selalu sibuk." Dijawabnya :
"Kau ini dari dulu saya banyak belajar dari kamu kan, Dan omong sama kamu rasanya nyaman." Tanggapannya: "Yaa, kau pinter belajar dari kebodohanku. Catatanku kau pakai kau yang dapat nilai delapan, dan saya yang buat cuma 7 ...." Kami tertawa bersama. Sama-sama nyaman setiap bersamaan.Kami teman seklas di SMA.(1957-1960).
Sepotong Dialog kedua antar bapak dan anak tentang kakeknya. Saya Bapak yang membandingkan anak pertama dengan adiknya yang beda umur 8 tahun 6 bulan. Saya konfirmasi mengapa gaya bicara kedua anak itu berbeda. Yang tua sangat hati-hati rupanya banyak pertimbangan setiap bicara. Sementara adiknya bicara lepas dan seperti tak pernah ada kesan keraguan.
Respon Sang Kakak: "Saya tak juga selalu ragu. Hati-hati memang harus. Saya teringat kesan saya pada Embah (kakek). Beliau selalu tenang, pelan tapi pasti. Saya belajar ketika Embah berrembug sama bapak. Embah tenang dan pasti, bapak tidak menentang tapi berfikir. Saya rasa nyaman kalau belajar dan bermain ada Embah". Memang hanya dia anakku yang sempat "diasuh" didamping waktu bermain atau belajar oleh ayah saya selagi beliau masih hidup.
Rekan Raganuriman, menulis di sini, tentang beberapa (4) indikasi keresahan gaya hidup generasi Z. Tampaknya indikasi itu tidak kelihatan di daerah yang masih berbau pedesaan. Akan tetapi memang ada fenomena keresahan dalam suatu gayahidup dewasa ini.
Sementara rekan Yudhi Hertanto menulis tentang bingkai gaya hidup sebagaimana disoroti media masa di sini: Pada hampir akhir memberi catatan sebagai berikut : "Dalam diagram hirarki Maslow, puncak tertinggi dari kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri yang lebih tinggi dari sekedar penghargaan.
Bila dimaknai secara keliru, kita akan mudah terpeleset di media sosial dengan mempertontonkan kemampuan fisik. -- Padahal aktualisasi diri dalam format Maslow memberikan efek kesadaran yang tertinggi pada kemampuan manusia untuk bersyukur, bahkan mampu memahami dan menerima realitas diri serta lingkungannya, dengan kualitas terbaik dalam kejujuran serta keadilan, bukan kebendaan."
Dari pengalaman sehari hari dan dari bacaan terkutip saya beropini sbb: