Lihat ke Halaman Asli

Kesenjangan Sosial

Diperbarui: 29 September 2020   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kwalitas dan dampak kesenjangan social seiring dengan kwalitas komunikasi masyarakat menjadi tantangan buat kita semua untuk menyikapinya..

Peristiwa basi September 24 yang lalu TVONE menggelar Talkshow dengan judul "DUA SISI". Membahas tentang PAM Swakarsa sebagaimana diatur kembali berdasarkan Keputusan Kapolri untuk memberi dasar hukum sesuai Undang Undang yang telah ada. Dalam acara itu dihadirkan sederetan panjang nara sumber. Ada dari DPR , Orpol, pengamat politik, kepolisian, dan tentu presenter pemandu yang besar peranannya..

Ada suara yang sumbang dan kecurigaan tentang tujuan sebagaimana terjadi di tahun 1989 itu bahwa sekarangpun hanya merupakan alat melanggengkan kekuasaan. Rakyat di pertemukan dengan rakyat. Sementara pada sisi lain Kepolisian dan lainnya menjelaskan bahwa peraturan Kapolri ini sudah berdasarkan perundangan yang ada sebelumnya bahkan sesuai UUD 1945 juga.  

Dua Sisi (judul talkshow) atau lebih menunjukkan sudah adanya kesenjangan pandangan terhadap satu realita yang sama. Masing-masing penghadir sisi-sisi pandang pada show itu diberi kesempatan mengutarakan pandangannya setelah disajikan tayangan vcd beberapa adegan nyata.

Kali ini saya apresiasi pada pemandu yang lebih sabar dari biasanya, sehingga saya berkesan para pihak menunjukkan rasa tidak kecewa terhadap acara itu. Itu berarti Dua Sisi pandang yang diangkat berhasil dipersandingkan, dan tampak kesenjangan informasi di jembatani. Tentang dampak dan hasil acara itu .... lain perkara.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari berbicara tentang Perspektif publik untuk persepsi umum terhadap fenomena politik khususnya pendapat pemerintah yang tampak dalam sikap, kebijakan pemerintah atau pejabat.

Belakangan ini saya melihat adanya perbedaan pandangan terhadap Penyelenggaraan Pilkada serempak. Semuanya bersumber pada masalah Covid-19. Beberapa pihak mau menunda penyelenggaraanya, sedangkan Pemerintah, disetujui DPR-RI tetap pada rencana semula.

Dengan alasan disini Covid19 tetap dalam kendali, dan tidak ada jaminan sampai kapan Covid itu berhenti untuk jadi dasar penundaan.  Dan yang menolak melihat Covid masih semakin meninggi dan resiko tinggi bagi warga sangat dikuatirkan.

Sementara itu secara politis dilontar kecurigaan adanya kepentingan tersembunyi bagi Pemerintah. Yaitu soal anggaran baik bagi Penyelenggara maupun bagi Calon. Dan Kepentingan pribadi bagi Jokowi dituduhkan karena anak dan menantunya menjadi Calon dalam Pilkada itu. Nah inilah rupanya bermuara ungkapan Persepektif Publik itu.

Perspektif publik tak lain adalah rasa masyarakat entah itu menyangkut perihal keadilan ataupun nilai nilai lain yang dihayati. Rasa itu muncul manakala ada peristiwa penting yang dirasa bersama kurang sesuai dengan nilai atau kaidah yang dianut. Rasa itu saya hanya mengatakan "pandangan umum" yang berdasarkan akal sehat saja. Meskilah ada yang menggeser akalnya menjadi kurang sehat.

Dalam praktek politik keseharian kritik dari dan oleh oposan bagi pemerintah memang sangat bermanfaat. Tetapi sangat sering berdampak buruk bagi semangat kebersamaan. Kebersamaan untuk menghadapi musuh bersama. Seperti sekarang kita menghadapi Pandemi ini. Semestinya saran dan kritik bukan untuk menjadi konsumsi umum dan bertujuan membentuk opini publik. Sebab pada gilirannya bisa juga opini publik itu digunakan untuk kepentingan sendiri dari pelontar pertama issue itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline