Lihat ke Halaman Asli

Menghormati Bangsa sebagai "Wonge Dewe"

Diperbarui: 15 Agustus 2018   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak melecehkan itu minimal sekali untuk disebut menghargai. Bagi seorang militer atau yang disebut aparat, juga tak ada keraguan untuk wajib menghargai Negara. Apa lagi bagi para pejabat Negara, boleh dikata suatu kegilaan bila tidak tahu diri untuk menghargai Negaranya sendiri.

Tetapi bagi para pekerja, pelaku profesi, yang demikian khas sehingga dengan segala perhatian kesehariannya tercurah hatinya pada profesinya, saya akan memaafkannya bila tak sempat untuk berfikir menghormat Negaranya.

Para buruh tambang, para nelayan kecil, para pedagang yang untuk hidupnya serba kekurangan, saya akan memaafkan bila mereka mengabaikan ajakan merayakan acara-acara tujuhbelasan disudut-sudut negeri ini karena sedah lelah.

Bagi mereka yang beruntung dapat merasa gembira ikut berlomba diacara Hari Kemerdekaan, bagi pejabat Negara dibidang bidang yang basah, pernahkah anda merefleksi sesungguhnya apa itu Menghormati Negara.

Negara hanya akan menjadi figure abstrak, tidak jelas kedudukannya, mungkin Negara hanya sebatas bendera atau lomba yang harus dimenangkan. Negara hanya atasan atau Badan Pemeriksa Keuangan, yang setelah lewat pemeriksaan uang Negara adalah tantangan bagaimana bisa disimpangkan ke rekening pribadi.

Untuk memperoleh persepsi yang wajar, sedehana, nyata, realistic harus dilewati sebuah refleksi. Refleksi adalah mengupas pengalaman nyata. Menggunakan akal sehat, mencoba memahami pengalaman sendiri. Hasilnya bukan teori, tetapi pengalaman yang teruji. Ada tranparansi, ada pencerahan, sebuah pemahaman siap di aplikasikan.  

 Alur besar yang kita refleksikan adalah : Menerima Keberadaannya, Menghargainya, Memghormatinya dan sempurnanya adalah Mencintainya.Dan pemikiran tentang Alur tersebut semuanya dipelajari oleh manusia melalui keluarga. Kita belajar mencintai, menghormati, menghargai bahkan diawali oleh merasakan keberadaannya dengan menangis ketika sebagai anak kecil ditinggal ibunya.

Dari kecil kita diajar sopan santun, menghargai bahkan menghormati orang tua dalam rumah, mereka yang dituakan, kakak, abang, paman, bibi,kakek nenek. Mereka semua dihati anak anak tampil sebagai figur yang nyata. Kakak dihormati oleh semua saudara, apa lagi kakek nenek yang ayah bunda pun menghormat mereka. Hukum meniru, meneladan, menjadi komunikasi dialogal yang tidak terdengar. Anak anak melakukan yang orang dewasa melakukan. 

Pengalaman yang sangat tidak asing bila kita melihat barisan kampanye partai, pakaian dan perilaku anak-anak seragam dengan yang dewasa. Padahal mereka belum mengerti apa itu partai.Proses pendidikan di sekolah pada bulan Agustus di Indonesia sudah menggambarkan upaya menyampaikan nilai cinta bangsa dan negara dengan pelbagai acara menyambut Perayaan Hari Kemedekaan Bangsa Indonesia. 

Disini anak2 terlepas dari suasana keluarga kecil diajak kenjiwai Keluarga Besar, Keluarga Trah, Keluarga Bangsa. Tetapi mengapa masih saja ada warga negara bahkan pejabat negara tidak memiliki cinta bansa dan negara sehingga tega mengotori nama harum Bangsa dengan perbuatan korup dalam segala bentuknya itu??

Dari refleksi diatas dimana kita seyogyanya merasa bahwa Cinta mencintai Hormat menghormati, harga menghargai adalah perilaku manusia dalam keluarga antar warga. Disana Perbuatan dan perilaku sangat dirasa sebagai perbuatan antar orangnya sendiri, bukan orang lain. Bangsa kita itu Wonge Dewe.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline