Lihat ke Halaman Asli

Sebentuk Cinta

Diperbarui: 3 Oktober 2016   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Refleksi yang dibagikan ini beda tipis dengan curhat. Curhat jangan dibantah, sebab jujur apa tidak itu hati penulis. Refleksi itu hati dan otak. Boleh disangkal bahkan boleh dicibirkan, tetapi bisa diterima sebagai cermin.

Kemarin penulis menghadiri pesta pernikahan. Pasangan nikah diresmikan oleh seorang imam yang juga sebagai pembina kaum muda, 6 tahun sudah mendampingi perkembangan cinta mereka. Dikhotbahkan saat itu bagaimana pria muda itu sejak awal memiliki kedalaman cita rasa rohani, dan wanita muda sebagai praktisi yang rajin dan meski kadang seperti cuek namun berkepedulian mendalam pula. Itu dasar diatasnya harus dibangun cinta mereka. Dan pesan dasar Imam itu :  “kembangkan terus, sempurnakan cinta kalian”.

Cinta kasih adalah ralasi dua insan yang satu merespon positif terhadap kenyataan obyektif yang dihadirkan oleh relasi seberangnya.

Karena pesona kata cinta banyak orang berbicara langsung tentang bentuk dan intensitas cinta itu, tetapi lupa merefleksi kenyataan obyektif dari para pelaku itu sendiri. Kenyataan obyektif dari pelaku itu akan menjadi panduan menentukan kepatutan cinta itu….

Hukum positif yang mengidealkan Cinta berbunyi demikian :  “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.”  Dan:  “ Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

Hukum kasih itu sebenarnya hukum kodrat, terpatri disanubari setiap insan agama apapun. Seperti hak asasi manusia pernah di rumuskan orang, 10 Perintah Allah adalah sekedar rumusan yang intinya petunjuk dengan mana manusia bisa berbahagia. Kebahagiaan itulah target kodrati manusia. Dan itu target hidup manusia yang dikodratkan dan dimungkinkan untuk dicapai. “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum dan kitab para nabi.”

Banyak penulis dan pembahas cinta mengaburkan batasan intensitas dan kesungguhan mencintai dengan cara mencintai. Sepertinya orang harus mengatakan cara tertentu ini itu menjadi indicator kesungguhan cinta. Seandainya itu benar menjadi repot kalau orang harus melihat kesungguhan mencintai seorang ibu terhadap anak lelakinya dengan cara terhadap suaminya. Yang benar ada suatu kadar kesungguhan yang mungkin setaraf, tetapi beda cara pembuktiannya .

Kekaburan ini bisa menyesatkan kearah kebingungan, kekakuan dan kesesatan seperti peselingkuhan dst. Padahal perlu di refleksi benar bahwa kesungguhan itu ada pada sisi hati, kejujuran, kebeningan wawasan, kemantaban kepribadian atau integritasnya. Sementara benar tidaknya cara mencintai terletak pada sisi kondisi, sifat dan obyektivitas target sasaran mencintai. Dua model Resep saya Cinta segitiga pertama Tuhan Suami Isteri, sama berkesungguhan dan intent seperti intensitasnya Cinta Segitiga kedua, Ayahanda Bunda dan anak. Tetapi spesifik berbeda cara.

Berbicara tentang Cinta tak ada habisnya. Mungkin ini saatnya bicara tentang percintaan didunia maya. Pengalaman indah terjadi pada suatu grup penulis fiksi yang dengan indahnya membangun komunitas imaginer di Facebook, dan diikuti oleh pertemuan nyata dalam kondisi moral yang tetap sehat dan nyata. Artinya imaginasi per”cinta”an mereka tidak dikaburkan dengan kepatutan didunia nyata. Penulis sebagai peserta, ikut menyiapkan kadatangan kopdar mereka satu forum nyata bertemu pandang, penulis kerjakan dengan kesungguhan, dan direspon dengan kesungguhan oleh mereka dengan penuh kebahagiaan yang murni jauh dan jauh dari kemesuman.

Ketulusan dan kejujuran hati bercinta yang penulis terima dari Sang Guru, tidak pandang bulu terhadap yang kaya yang miskin, yang cerdas atau yang gagal paham akan nilai kemurnian dan kesucian hati. Penulis tidak menutup sebelah mata pun bahkan iba dan sayangi kepada banyak kaum muda yang memilih melepas imaginasi bebas di dunia maya ini untuk kebahagiaan semu sementara. Mereka yang haus kasih sayang ortu, bete dan mungkin marah terhadap situasinya, dan kini teknologi menawarkan peluang. Penulis ada sedikit pemikiran dan bersyukur dengan itu mereka tidak terjerumus ke dunia prostitusi yang lebih tidak manusiawi. Saudara saudara seperti ini tidak layak dibenci, tetapi harga dirnyapun menolak dikasiani. Mereka seharusnya dicintai dengan cara tersendiri. Yang lelaki didorong ntuk menjadi ksatria sejati, yang perempuan diberi cita2 menjadi isteri dan ibu yang bahagia. Sebab inilah bicara soal liku liku percintaan. Siratan realita ini perlu diperhatikan oleh ortu dan pendidik.

Hidup dan kehidupan cintapun sekarang ini harus menjadikan kita semakin cerdas. Kemampuan menangkap realitas dipertajam, analisa dan referensi ditambah. Memang belajar harus sepanjang masa. Tetapi kita boleh santai asalkan rasional dan waspada. Santai sebagai bukti adanya harapan, bukan tekanan..dan keterpaksaan. Santai sekedar mau bilang ada kesukaan dan selalu bersyukur atas apa yang ada. Maka kita belajar hidup mengikuti saran dan nasehat kepatutan bukan ketakutan atas sangsi pelanggaran. Kita membuat strategi dan siasat mengatur kebutuhan, juga kebutuhan akan kasih sayang dan cinta kasih yang menjadi hak kodrati manusia. Bukan keinginan nafsu.  Cintai sesamamu sperti mencintai dirimu sendiri. Tahu apa tidak cara mencintai diri sendiri.? Kalau gagal paham tentu gagal pula mencintai sesama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline