Lihat ke Halaman Asli

Kemarahan Istriku Menahan Amarahku

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah anak anak sendiri lepas dewasa berkeluarga, kami suami isteri masih banyak kali dipercaya diserahi mengasuh anak orang di rumah. Tentu saja pengalaman banyak dengan kenakalan anak-anak. Sekali waktu hati ini konyol juga. Tetapi sekali peristiwa isteri marah besar. Untungnya saya masih bisa menahan diri…..

Ternyata saya belajar dari pengalaman ini. Memang marah itu manusiawi, sehari-hari, seperti makan nasi saja….Atau minum kopi lah. Ada kecenderungan, ada desakan dari dalam; tetapi memang ada alasan yang nyata, terrasa, dari realita. Realita negatip, tidak enak, tidak sesuai dengan selera, rasa, pikiran dan termasuk pelanggaran aturan yang seharusnya ditaati. Realita negatip itu bertemu dengan kecenderungan kejiwaan atau apa saja yang terjadi dalam diri kita. Nah terjadilah kemarahan. Kemarahan dapat terungkap tersalur atau terpendam dan tertahan.

Selanjutnya saya belajar dari Kompasiana. Tulisan seorang Dyah yangHL pada| 18 May 2012 08:28 dibaca 1543, Berjudul : 5 Jebakan Kemarahan dan Cara Mengatasinya. (http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2012/05/18/5-jebakan-kemarahan-dan-cara-mengatasinya-463814.html) - menurut Anthony Dio Martin.

Saya mengambil pelajaran ini :


Sikap salah dan sebaliknya dalam menghadapi situasi :

1.Melabeli : men-“cap” …..mestinya buktikan dulu faktanya , Dengan mengetahui apa maksud tindakan orang lain, maka kita akan lebih mudah memahami orang tersebut dan terhindar dari marah.

2.Mind read,menduga pikiran orang …. Sebaiknya mengatasi kebiasaan mind-read tersebut yaitu dengan berkomunikasi. Tanyakan…

3.Apriori menaruh Pikiran buruk ……Sebaiknya mengecek realitas, maka yang perlu dilakukan hanyalah berusaha untuk tetap berpikiran positif.

4.Melebih-lebihkan masalah ………. Seyogyanya mari melihat masalah secara obyektif dan tidak memberikan penilaian yang berlebihan.

5.Kita cenderungberpikir, seharusnya begini, seharusnya begitu …….Sebaiknya kita mencoba melihat masalah secara objektif agar kita mampu berpikir lebih fleksibel dalam menemukan solusi atas permasalahan yang sedang kita hadapi.

Seperti pada kasus kami kemarahan isteri menahan amarah saya,dan belajar dari Anthony Dio tersebut diatas, saya juga hanya akan menyerahkan kepada sidang pembaca beberapa tulisan yang saya rasa menyiratkan kontroversi.Kontroversi yang saya baca sebagai disebabkan oleh perbedaan persepsi / pemahaman tetapi juga dari sudut pandang dan maksud tujuan penulis. Perbedaan pendapat pasti sah sah saja. Dan saya melihat penyampaian “Kritik” dan atau “Koreksi” cukup enak diikuti. Bahkan Tulisan Rekan Indri Hapsari merupakan seni kritik tersendiri dalam seluruh tulisan itu terhadap istilah “managemen” dari tulisan yang disana disebut sebagai tulisan yang dibacanya sebelum menulis. Saya menghormati kritik terhadap pemakanan kata managemen meski kita sudah lama mendengar istilah managemen kalbu… Coba silahkan teliti tiga gaya tulis tulisan pertama, kedua dan ketiga. Istilah yang menarik : “Primitif”, “mengaku nasionalis”, “sesat”.

1.Edi Prayitno“Masih Merokok? Berarti Anda Primitif!”

http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2012/12/17/masih-merokok-berarti-anda- primitif-511641.html




2. Robitul Umam : “ Anda Mengaku Nasionalis, Merokoklah…!”

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/01/02/anda- mengaku-nasionalis-merokoklah-521552.html. .

3.Ilyani Sudardjat, Pola Pikir Sesat di Artikel ‘Anda Mengaku Nasionalis, Merokoklah!’

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/01/02/pola-pikir-sesat-di-artikel-anda- mengaku-nasionalis-merokoklah-515765.html




4. Indri Hapsari . “Managemen Rindu”


http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/01/03/manajemen-rindu-521842.html

Bukan maksud hati untuk menuduh ada “kemarahan” diantara para penulis. Bahkan para komentator nampaknya juga tidak ada yang main “kompor” memanaskan suasana. Saya berfikir Kompasiana tetap medan yang sejuk untuk bercengkerma dengan berbagi ide dan gagasan. Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline