Iedul Fitri dan Hari Kemerdekaan tahun ini hampir datang bersamaan. Dua hari besar yang di Indonesia seharusnya dirayakan sangat sangat istimewa. Keduanya dapat diartikan sebagai hari Kebebasan. Kebebasan dari Dosa dan keselamatan dari api neraka, dan Kebebasan dari Penjajahan.
Kedua hari itu harus dimaknai secara benar kalau mau menjadi real dan actual buat kita semua. Karena keduanya dalam arti kebebasan masih harus diisi masing-masing dengan sikap dan perilaku yang dimotivasi oleh makna yang kita hayati.
Untuk keduanya sebaiknya diambil "jembatan" sama yaitu : Permaafan dan Bineka Tunggal Ika. Permaafan menuntut toleransi dari orang yang memaafkan bagi yang mau / harus dimaafkan.
Bineka Tunggal Ika adalah semboyan NKRI yang menyangkut multikulturalisme dan tolerani pula.
Untuk Permaafan secara social budaya pernah penulis bahas di tulisan saya sebelum ini dihttp://sosbud.kompasiana.com/2010/08/25/budaya-memaafkan-dan-tidak-memaafkan/Dimana saya bahas dari pelbagai praktek budaya dan adat. Dan nampaknya masih boleh di tawarkan rumusan-2 ini :
Permaafan dapat menjadi satu sikap religiositas yang seluas "samodra".
Permaafan yang tulus dibutuhkan kearifan dalam pengambilan keputusan, kebebasan memilih antara memaafkan atau tidak memaafkan.
Permaafan tidak merupakan kekalahan. Tetapi permaafan dapat menjadi indicator keunggulan ketajaman penilaian dan kebesaran hati seseorang.
Untuk Bineka Tunggal Ika dapat ditelusuri dalam Wikipedia dan bisa dikutip bahwa Bineka Tunggal Ika adalah kutipan dari Kakawin Sutasoma karangan Empu Tantular orang Mojopahit di abat 14.
Kekawin yang mengajarkan kebersamaan pemeluk agama Hindu Siwa dengan umat Budha. Dan dalam Kakawin yang hebat ini ditunjukkan hal yang sangat mendasar. Renungi keseluruhan bait terkutip ini :