Mendengarkan bukan sekedar Pasang Telinga.
Setiap kali kita berdoa : Ya Tuhan Dengarkanlah doa kami. Betapa rindunya kita agar Tuhan mendengarkan kita. Tetapi kita sangat sering tidak segan membiarkan orang lain menanti kita untuk mendengarkan mereka.
Betapa bahagia pernyataan, ungkapan, seruan kita ketika didengarkan orang. Tetapi betapa sering kita mengabaikan himbauan isteri, betapa sering kita membiarkan pertanyaan anak tak terjawab karena kesibukan kita.
Mendengarkan bukan sekedar pasang telinga mendengar suara. Mendengarkan membutuhkan kemauan bahkan tehnologi untuk mendengarkan dengan baik. Sapaan, tegoran, pernyataan, permintaan, pertanyaan harus didengar, dimengerti, dipahami, untuk ditanggapi secara serasi dengan isi, masukan, harapan, persoalan yang kita terima.
Mendengarkan membutuhkan kerelaan. Tidak jarang mendengarkan dituntut pengorbanan. Mendengarkan sering langsung dibayangi oleh (akan adanya) konsekwensi yang memberatkan, mempersulit dan mendapatkan beban baru.
Ada banyak hambatan untuk mendengar dengan baik :
1.Gangguan media komunikasi……… (teknis saja)
2.Kesibukan dengan diri sendiri, sedang tidak mood, bete, marah, pusing, sakit badan.(kondisi raga dan psikologis sementara)
3.Kebingungan, kesulitan memberi jawaban, tanggapan : karena rumitnya pemecahan masalahnya, (situasional, lingkungan)
4.Sikap buruk dalam komunikasi sosial : tertutup, tidak peduli, menghindar dari tanggung jawab, mendahulukan kepentingan sendiri.(sikap,perilaku)
Membaca.
Mendengarkan dapat disejajarkan dengan membaca. Mendengarkan tertuju kepada suara, lagu, pembicaraan, dialog, membaca menggunakan media hurufcetak atau dengan teknologi komunikasi. Keduanya baik apabila ditunjang dengan “mencatat”.
Perihal “Membaca dan belajar”Psikologi menyumbang catatan bahwa ada cara pembelajaran dengan media audio-visual. Itu berarti memfungsikan alat pendengaran didampingi penglihatan. Semua itu demi intensitas dan hasil maksimal.
Sementara itu para penulis di Kompasiana padadasarnya mengharap tulisannya dibaca. Tentu seperti orang menyampaikan sesuatu dan ingin didengarkannya.
Mencatat.
Disaat kita Mendengarkan, membaca ibarat kita menghadapi peristiwa, fenomena, dan menerima masukan. Alangkah sayangnya dan membuang kesempatan baik apabila semuanya segera terlupakan tanpa dapat menggali manfaat lebih jauh. Untuk itulah pentingnya pencatatan.
Bagi suatu lembaga pemerintahan yang bertugas melayani demikian komplek dan rumitnya permasalahan masyarakat pastilah logis membutuhkan pencatatan luar biasa. Arsip Negara, Catatan Sipil, Badan Pertanahan, adalah bentuk yang nyata dan luar biasa jelas peran pencatatan. Dan betapa dosa besar bila disana terjadi kekisruhan.
Tetapi ada suatu adegan istimewa yang selalu menggelitik. Sekali peristiwa ada perselisihan paham dalam keluarga. Ibu mengharapkan suatu perbuatan dari anaknya. Namun anaknya menolak, dan dengan memberi alasan yang ibunya tidak terlalu paham. Ibu itu pasti “mendengarkan” kendati tidak paham sekali. Anaknya yang baik ini ternyataakhirnya pun menurut apa kata ibu. Dan ibu itu : “ mencatat dalam hati segala peristiwa itu”. Tahukah anda apa yang dicatat khususnya oleh ibu itu..? Dan ibu yang baik rela mendengarkan dan memuat segalanya dari anak-anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H