Lihat ke Halaman Asli

Orang Lain, yang Dilainkan dan yang Melainkan

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Topik atau hal yang sedang saya renungkan adalah :

Siapa orang lain ? Siapa orang kita ? Siapa diriku sendiri ?

Lalu bagaimana sikap kita menghadapinya. ?

Permenungan ini berawal dari empat titik yang saya temukan mempunyai benang merah dengan kasus permasalahan sekitar itu.

Satu, Saya ingat sekitar 35 tahun yang lalu anak saya (berumur 5 th) tidak mau berbicara dengan bahasa Jawa halus kepada kakeknya (ayah saya). Layaknya ortu saya harus mengajar tatakrama adat Jawa, saya tegurlah dia. "Kepada pembantu rt saja kau berbahasa sopan/halus, mengapa kakek sendiri tidak kau hormati dengan bahasa sopan.?" Tetapi jawabnya : Kakek kan orang kita sendiri, bahasa sopan itu kan untuk orang lain ?" Saya Cuma geleng kepala, dari siapa dia dapat ajaran itu.

Dua, Hari-hari ini saya mempunyai teman sejawat dalam sebuah paguyuban yang sakit. Sebulan yang lalu saya menegurnya atas sikap yang dinilai oleh teman-teman sebagai penyalah-gunaan kesempatan bertugas pelayanan. Dia saat ini sakit keras di rumah sakit. Diberitakan dia selalu mengharap kematiannya. Saya mau menjenguknya. Tetapi saya harus berfikir akan bagaimana kiranya bila dia bertemu saya. Padahal saya sudah siapkan sebuah saran agar dia mohon dipanggil Tuhan dirumah saja, memudahkan isteri dan segenap keluarga. Saya berharap bila berhasil meyakinkan sebaiknya meninggal dirumah, saya yakin harus melewati penyembuhan. Tetapi bagaimana dia akan menerima saya? Saya pernah menegurnya dengan keras, bisakah dia iklas menerimanya baik tegoran, diri saya, maupun dirinya dia sendiri dalam situasi merasa menghadapi maut itu...?

Tiga, Jalinan pertemanan didunia maya, dalam jaringan grup Desa Rangkat mendapat pembahasan (baca : 'penegasan') tentang asal muasalnya oleh @Mommy dan @Yayok sebagai pelontar gagasan awal. Tegasnya relasi fiktip melalui "untaian kata" didunia maya itu telah melahirkan relasi batin yang nyata. Mengambil istilah aslinya : Yang Nyata adalah tali persaudaraan yang disatukan TANGAN TUHAN (istilah pak astoko di Kopdar Yogya) dan aktivitas serta kreativitas warganya dalam tulis menulis. (http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/ 2011/11/09/antara-maya-dan-nyata/) Dan relasi jalinan baru itu harus selalu dikembangkan dengan kritis, sesuai dengan kaidah social didunia nyata. Maka bagaimana sebenarnya hubungan Kakek Astoko dengan Cucu Jingga, penyandang ikon Mommy dan penyandang ikon Mas Yayok, orang lain menjadi orang kita dalam fiksi mereka suami isteri, secara bagaimana ?

Empat, Ada peristiwa Sharing dan Connecting di dunia maya: 'Menulis', 'ditanggapi', 'memberi tanggapan'. Warna sharing dan connecting itu sangat ditentukan oleh anggapan dan sikap para penulis itu terhadap pembacanya. Sebab sebenarnya bagaimanapun ditolak, dengan adanya peluang memberi dan menerima tanggapan, menulis tidak cukup disadari sebagai hak prerogatip penulis.

Menulis di Kompasiana hak prerogatipnya dibatasi oleh 'kontrak kepenulisan' dengan Kompasiana, termasuk kemungkinan tanggap menanggap dalam pelbagai cara. Jadi dapat dipertanyakan: sebenarnya siapakah pembaca bagi penulis., dan siapa penulis bagi pembaca.?

'Orang lain' itu diluar dari 'orang kita'. Sedikitya ada perbedaan. Sedikitnya perbedaan itu seperti kita membedakan orang lain berbeda dengan diri kita sendiri.

Orang lain masih bisa jauh-jauh lagi diambil jarak. Itu namanya diasingkan. Tidak diperhitungkan,padahal duduk didepan mata; yang lebih payah bila tidak dimanusiakan, lalu dilupakan. Istilah lebih payah : diAlineasi. Dikucilkan, dianggap orang asing. Pasti itu menyakitkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline