Lihat ke Halaman Asli

Rahmat dan Barokah, Sebuah Opini Awam

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Telah kusampaikan sebuah tanggapan terhadap sebuah tulisan di Kompasiana ini kira-kira bahwa : "Hidup itu Rahmat dst". Dan itu saya berikan pada tulisan rekan kita @Hm Zwan yang menulis ini: " Hidup itu perjuangan, tak kenal lelah meski kadang tersandung kerikil ataupun batu raksasa. Tetaplah berdiri tegak sekuat tenagamu, sekuat mimpi-mimpimu. Ketika jatuh, ingatlah saat kau menggali, meletakkan sebuah pondasi, menjadi rumah hingga sebuah istana yang luas bahkan menjulang tinggi...itulah perjuangan, layaknya sebuah kehidupan selalu berproses. (Malang, 21 Februari 2011. 10.36 am). ,,,,,Berbincang dengan DEWA seputar makna kehidupan dan perjuangan."

Kutipan itu adalah akhir dari puisi yang indah juga sepenuhnya di: http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2011/02/22/alunan-tentang-kehidupan-dan-perjuangan/ Oleh rekan @ Hm.Zwan.

Saya memberikan Tanggapan : " ada sedikit bumbu masak ni dari seorang kakek : hidup ini Rahmat, dan kita harus jadi barokah..... untuk sesama ciptaanNya.. siapa saja, apa saja kapan saja..."

Masalah yang ingin saya angkat adalah Rubrik Agama di Kompasiana, dan Grup Desa Rangkat yang sehat dan sejuk. Kata kunci yang saya ambil dari tiga alinea diatas adalah : (berbincang dengan)Dewa, Kehidupan, dan Rahmat.

Kita sama sama tahu Admin Kompasiana menghapus rubric Agama. Mengapanya saya kira semua juga tahu. Tanpa disebut nama Kompasianer kiranya semua dapat merasa siapa yang gemar berdebat agama. Debat yang sering saya rasa merembet menjadi argument ad hominem, menohok orangnya, bukan mengupas masalahnya lagi. Ada banyak pemaaf untuk menulis apapun kendati itu melanggar etika hidup bersama, dari segi psikologis, ketersinggungan, hingga pembelaan kebenaran yang berubah balas membalas ketersinggungan. Hal-hal serupa itu banyak yang merasa sebagai hal yang tidak memberi kenyamanan.

Sementara itu kehidupan seseorang memang sangat kompleks. Sisi kehidupan sangat beraneka ragam. Persoalan dan permasalahan hidup semakin berat. Orang tidak bisa hidup terus sekedar menghandalkan keterbatasan manusiawinya. Maklum pula disini kaum atheis menyalahkan kaum agamis memecahkan masalah kehidupan dengan keberimanan. Saya bilang itu manusiawi juga, bukan?

Padahal konteks di Indonesia memang terus ada pergumulan dalam keanekaan agama. Ada sikap toleransi, ada sikap atoleransi, ada sikap permisif ada sikap super disiplin, ada sikap defensip ada sikap agresip, ada moderat ada sikap ekstra-keras. Kearifan tradisional di Jawa: "Ngono nanging ojo ngono"= "Begitu tetapi jangan begitu" saran untuk mencari "media- aurea" atau "Tengah Keemasan" adalah model jadul. Memang bersikap hitam putih itu lebih sederhana, mudah dan murah.

Cara lain untuk Pemecahan masalah kehidupan yang sering ditempuh adalah menghindarkan atau menjauhkan keseluruhan yang terkait dengan permasalahan dengan segala akibatnya. Misal menghilangkan wadah permasalahannya kendati disana juga terletak pelbagai nilai-nilai lainnya. Di Kompasiana rubric Agama dihapus. Nah kalau saja itu ditaruk analognya dengan permasalaha kehitupan maka apa betul kehidupan juga harus dihapus.....

Saya menangkap pada tulisan Saudari Hm Zwan ada kata-kata "Berbincang dengan Dewa.seputar makna kehidupan dan Perjuangan" Siapa Dewa, yang layak diajak berbincang tentang makna kehidupan dan perjuangan....? Nama teman. ? Pasti tokoh yang patut dihandalkan. Atau samaran saja dari "Iman" yang ada disanubarinya. Jika yang terakhir itu benar ternyata itu lebih baik. Sejauh saya kenal Sdri Hm Zwan lewat tulisan sebelumnya banyak tulisan yang ditopang oleh kesadaran iman yang ada dalam kehidupannya. Itu sebabnya saya juga menambah komentar saya dengan pesan bahwa "Hidup adalah Rahmat, dan kita harus jadi barokah..... untuk sesama ciptaanNya.. siapa saja, apa saja kapan saja..." Sikap dari lifestyle ini tidak harus muncul dari satu agama saja. Jadi lontaran seperti itu tidak membutuhkan "label" Agama.

Dari sisi teknik penulisan tentunya itu saya nilai sebagai upaya mengemas nilai keimanan. Nilai keimanannya tidak harus dieksplisitkan. Sdri Hm.Zwan dari begitu banyak tulisan bulan ini baru secara tegas mengutip Q.S.Al-Mukminun 112-115 di http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/02/21/tak-ada-satu-menit/. Sebelumnya sungguh tulisan yang menganjurkan nilai2 universal imani tanpa dukungan teks2 Al Kitab.

Tehnik kemasan yang lain saya sendiri biasa mengemas dengan label "Filsafat Awam", "Theologi Umat", sebuah opini sederhana yang boleh digagas, dipikir oleh orang awam, non ilmiah, umat biasa bukan ahli. Demikianlah kemasan dengan : Fiksi percakapan di gardu ronda, Fiksi cerita binatang, Fiksi kisah tradisional dsb dapat membungkus ajaran kehidupan berdasarkan iman yang hidup. (kehidupan imani, iman segar dalam kehidupan). Hidup kehidupan apalagi Perjuangan Hidup biasanya bertahan hanya oleh kekuatan iman. Dalam hal seperti itu kiranya tidak perlu label Agama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline